REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada pertengahan Februari 2019 lalu, mantan komandan kelompok radikal Negara Islam Indonesia (NII), Ken Setiawan, meminta Pemerintah Indonesia dan masyarakat untuk waspada. Karena, ada potensi terjadinya aksi teror menjelang Pilpres 2019 dari kelompok yang mendukung terbentuknya khilafah di Indonesia.
"Hari ini para pendukung Khilafah sangat marah oleh beberapa sebab," kata Ken Setiawan, yang juga pendiri NII Crisis Center, Jumat (15/2).
Saat itu, Ken menilai, beberapa teror belakangan muncul seperti pembakaran kendaraan di Provinsi Jawa Tengah bukanlah kebetulan, namun sudah direncanakan. Menurut dia, tujuannya jelas bahwa kelompok khilafah ingin jelang Pilpres suasana tidak kondusif, dan ini bisa jadi amunisi untuk memojokkan aparat keamanan dan pemerintah yang diangap gagal dalam memberikan rasa aman di masyarakat.
Kekecewaan pendukung Khilafah, lanjut Ken, bisa menimbulkan rasa pesimistis dan putus asa di kalangan kelompok itu yang di Indonesia diakuinya cukup banyak. Mereka merupaka eksnapi teroris, deportan Suriah dan kelompok radikal yang kini pimpinan mereka ditangkap dan ditahan.
"Ketika punya komandan, mereka akan mudah dikontrol dan dimonitor. Tapi bila tanpa komandan, maka ini yang berbahaya karena mereka punya keterampilan membuat bom. Jadi bisa saja mereka melakukan aksi kapan dan di manapun mereka mau," katanya. "Sel-sel (teroris) tidur banyak yang masih aktif, ini sangat berbahaya," lanjut Ken.
Sebulan lebih menjelang pelaksanaan pemilu dan pilpres pada 17 April 2019 mendatang, terjadi peristiwa penggerebekan terduga teroris. Densus 88 Anti-teror, pada Selasa (12/3) menangkap hidup Husain alias Abu Hamzah di Sibolga, Sumut. Ia ditangkat lantaran terkait dengan jaringan terorisme Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Saat penangkapan tersebut, sempat terjadi aksi peledakan di rumah terduga yang terletak di Jalan Ahmad Dahlan, Sibolga. Satu petugas, dan satu warga sipil terluka dalam peledakan tersebut.
Setelah penangkapan itu, Densus 88 mencoba ikut menangkap istri dari Abu Hamzah. Tetapi, sang istri tak menurut dan memilih untuk melakukan upaya perlawanan. Yaitu dengan mendekam di dalam rumah bersama anaknya dan mengancam mengancam meledakkan bom.
Densus 88 berusaha membujuk keduanya untuk keluar rumah. Tetapi, sampai Selasa (12/3) tengah malam, bujukan petugas keamanan mentah. Pada Rabu (13/3) dini hari, sekitar pukul 01:20 WIB, usaha membujuk istri keluar rumah berujung pada aksi ledakan bunuh diri.
Apakah aksi penggerebekan terduga teroris ini terkait ancaman teroris jelang pilpres?
Terkait hal ini, Polri memastikan ledakan bom di Sibolga Sumatra Utara pada Selasa dan Rabu 12-13 Maret 2019 kemarin tidak berkaitan pilpres. Apalagi bertujuan untuk mengacaukan keamanan menjelang pemilihan umum yang akan berlangsung pada April 2019 mendatang.
“Tidak ada kaitannya dengan Pilpres,” kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo saat dikonformasi Republika.co.id, Kamis (14/3).
Menurut Dedi, sasaran kelompok teroris tersebut sangat jelas menyasar aparat keamanan. Karena bagi mereka, aparat keamanan merupakan musuh utama yang harus mereka perangi.
“Mereka akan melakukan amaliah dengan target aparat keamanan, musuh utamanya ya kepolisian karena kepolisian yang melakukan pengejaran terhadap kelompok teroris,” jelas Dedi.
Adapun lokasi dan kapan waktu penyerangan, menurut Dedi, tergantung dari kesempatan dan peluang yang dimiliki kelompok tersebut. Yang jelas kata dia, penangkapan teroris di Lampung, si Kalimantan Barat dan Sibolga Sumatra Utara merupakan darah kelompok teroris yang sama.
“Mereka saling komunikasi melalui medsos pakai wag, email sama facebook dan kelompok tersebut melakukan amaliyahnya bisa setiap saat tergantung kesempatan dan peluang yang dimiliki,” jelas Dedi.
Warga menyaksikan lokasi terjadinya ledakan yang diduga bom saat penggerebekan terduga teroris di kawasan Jalan KH Ahmad Dahlan, Pancuran Bambu, Sibolga Sambas, Kota Siboga, Sumatera Utara, Selasa (12/3).
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto memastikan ledakan bom di Sibolga, Sumatra Utara pada Rabu (13/3) dini hari tidak berkaitan dengan pesta demokrasi pada April 2019 nanti. Ia menegaskan bahwa kepolisian sudah menjalankan tugas dengan optimal untuk melakukan pengamanan menjelang pemilihan presiden dan legislatif.
"Tidak ada kaitan dengan pemilu, jadi masyarakat harap tenang, tidak terpengaruh ini, bisa saja," kata Wiranto di Istana Negara, Rabu (13/3).
Wiranto menambahkan, aparat kepolisian telag melakukan pendekatan 'kasar' dan 'halus'. Kasar, maksudnya adalah melakukan penangkapan terhadap terduga dan melakukan tindakan bila terduga melawan. Sedangkan pendekatan secara halus dilakukan polisi di hulu, yakni dengan meyakinkan masyarakat bahwa terorisme bukan bagian dari akidah agama.
"Sehingga mereka bergerak bukan dalam rangka pemilu, sabotase sesuatu program. Kemarin di Sibolga itu juga diributkan seakan-akan itu mengganggu pemilu, pemilu enggak aman," kata Wiranto.
Jaringan ISIS?
Sementara itu, meski ISIS telah disebut-sebut runtuh, namun masyarakat harus berusaha untuk mendeteksi siapa saja yang pernah atau masih menjadi simpatisan ISIS. Misalnya seperti pelaku ledakan bom di Sibolga, Sumatera Utara, merupakan orang-orang yang diduga masih menjadi simpatisan ISIS.
Pengamat Terorisme, Harits Abu Ulya, menganggap teror yang dilakukan simpatisan ISIS di Indonesia memiliki lima alasan. “Mereka adalah sisa-sisa simpatisan yang terdeteksi dianggap punya potensi melakukan aksi teror (jika melihat indikasi ketersediaan material bom rakitan yang ada),” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/3).
Perlu di catat, kata dia, baik sebelum dan sesudah ISIS jatuh, sebenarnya banyak juga simpatisan ISIS yang ada di Indonesia kemudian sadar (taubat) dan meninggalkan ISIS karena beragam faktor dab sebab. Mereka bukan lagi ISISER (sebutan anggota atau simpatisan ISIS di Indonesia).
“Andaikan masih ada aksi-aksi teror di Indonesia paska runtuhnya ISIS maka pemicunya kemungkinan ada lima,” tutur Harits.
Pertama, karena dendam kepada aparat kepolisian. Kedua, pemikiran ekstrem yang masih terinternalisasi seperti halnya sebelum lahirnya ISIS. Ketiga, ‘Keputusasaan’ yang dilabeli sebagai bentuk loyalitas kepada ISIS. Keempat, bergabung dengan kelompok kecil seperti Ali Kalora, kelompok Abu Sayaf atau membuat embrio baru di tempat yang memungkinan bagi mereka. Dan kelima, adalah by design artinya produk permainan ‘intelijen gelap’ karena sebuah order kepentingan tertentu.
“Diluar isu ISIS, teror dan aksi terorisme bisa datang dari kelompok separatis OPM, atau aksi-aksi teror terkait dengan kontestasi politik 2019,” kata Harits.
Kasus ledakan bom rakitan saat penangkapan Husein alias Abu Hamzah di Sibolga, Sumatera Utara, menurut Harits hanyalah satu sequel dari proses preventif seperti halnya usaha preventif yang dilakukan di tempat lain seperti di Lampung, Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan tempat lainnya.
Selama ini, bom rakitan adalah material favorit untuk dijadikan alat teror. Dalam dunia maya (internet) menyediakan informasi melimpah terkait guiden pembuatan bom, dan ini memudahkan bagi peminat aksi teror belajar dan meracik secara efesien.
“Tapi yang tidak kalah pentingnya untuk mendapat perhatian, adalah teror dalam wujud serbuan budaya asing, narkoba, eksploitasi SDA oleh kapitalisme dan lainnya. Ini bisa menghancurkan kehidupan berbangsa bernegara Indonesia dengan segenap warga dan tumpah darahnya,” ucap Harits.