Rabu 13 Mar 2019 15:13 WIB

Pengamat: Kenaikan Gaji PNS Efektif Tarik Suara Pemilih

Pemerintah berencana menaikkan gaji PNS pada April 2019.

Rep: Muhammad Riza Wahyu Pratama, Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) berfoto dan halal bihalal usai mengikuti apel gabungan hari pertama masuk kantor setelah cuti bersama Idul Fitri 1439 Hijriah di Aceh Utara, Aceh, Kamis (21/6).
Foto: Antara/Rahmad
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) berfoto dan halal bihalal usai mengikuti apel gabungan hari pertama masuk kantor setelah cuti bersama Idul Fitri 1439 Hijriah di Aceh Utara, Aceh, Kamis (21/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan, kebijakan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) efektivitas dalam menarik suara 4,5 juta PNS dalam pemilu. Meskipun, PNS tidak bisa berkampanye secara terbuka, mereka memiliki hak pilih.

"Meskipun langkah tersebut bisa ditafsirkan sebagai menarik simpati. Namun, hal itu tidak bisa disimpulkan bahwa PNS akan berpihak kepada pasangan calon 01. Sampai saat ini, PNS terbagi menjadi dua. Sebagian mendukung 01 dan sebagian yang lain mendukung 02," kata Adi, Rabu (13/3).

Baca Juga

Menurut Adi, kenaikan gaji PNS akan dimaknai ganda oleh masyarakat. Apalagi kebijakan tersebut diambil menjelang pemilu, Rabu (13/3).

"Menjelang pemilu, kenaikan gaji PNS akan dimaknai ganda. Di satu sisi hal itu adalah pemenuhan hak dan kesejahteraan. Tapi di sisi lain hal itu akan ditafsirkan sebagai upaya menarik simpati, apalagi ini tahun politik," kata Adi Prayitno.

Kemudian ia menambahkan, nuansa populisme (menarik simpati) semakin kuat karena Jokowi baru pertama kali mengambil kebijakan tersebut. Sejak 2014 Jokowi menjabat, baru pada 2019 gaji PNS dinaikkan.

"Jika tidak mau dianggap menarik simpati masyarakat. Pak Jokowi selaku pejawat bisa mengambil kebijakan tersebut jauh-jauh hari sebelum kampanye," tutur Adi.

Meskipun demikian, Adi menegaskan, kebijakan tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan manapun.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, gaji PNS akan dinaikkan mulai April 2019. Meskipun, demikian pemberlakuan kenaikan gaji tersebut terhitung sejak awal 2019, bulan Januari.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla membantah jika kebijakan pemerintah menyetarakan gaji perangkat desa dengan pegawai negara sipil (PNS) golongan II/a dikaitkan dengan Pemilihan Presiden 2019. JK memastikan ditekennya  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2019 terkait penyetaraan gaji perangkat desa baru baru ini tidak terkait dengan politik Pilpres.

JK justru mempertanyakan jika ada pihak yang mengaitkan kebijakan tersebut dengan Pilpres. "Ya kan ini kan Pilpres lima tahun sekali, ya, emangnya mendekati pilpres tidak boleh ada keputusan. Enggak kan?" ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (12/3).

Menurutnya, usulan penyetaraan gaji memang telah lama dipertimbangkan dan kebijakan diambil Pemerintah sesaat jelang Pilpres. Meski Pemilu, JK menegaskan, Pemerintah Jokowi-JK harus tetap berjalan dengan mengeluarkan kebijakan maupun menuntaskan program program yang belum terlaksana.

Hal tersebut termasuk kebijakan penyetaraan gaji perangkat desa yang sudah lama diusulkan. "Harusnya pemerintah tetap jalan. Bahwa waktunya mendekat ya baru proses selesai. Jadi seperti itu," ujar JK.

Menurutnya, anggaran yang digunakan untuk peningkatan gaji perangkat desa diambil dari dana desa. Namun, ia memastikan penyetaraan gaji juga diikuti kenaikan anggaran dana desa setiap tahunnya.

"Ya tentu, dana desa tentu ada tambahannya. Karena dana desa tiap tahun dana desa itu naik, jadi sesuai," kata JK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement