REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sudah 700 hari berlalu sejak peristiwa penyiraman air keras terhadap Novel terjadi pada 11 Apri12017. Selama hampir dua tahun pula kepolisian telah diberikan kepercayaan untuk menungkap peristiwa tersebut.
Namun, hingga saat ini belum ada hasil dari penyidikan yang dilakukan.
"Belum ada perkembangan berarti. 9 Januari 2019 yang lalu sudah dibentuk tim gabungan antara polri dan KPK dan kuang lebih sudah tiga bulan berlalu tidak ada hasil yang disampaikan kepada kita semua semua. Untuk itu kami dari tim kuasa hukum beberapa hari lalu sudah menyampaikan beberapa surat," kata Kuasa Hukum Novel Baswedan, Arif Maulana di Gedung KPK Jakarta, Selasa (12/3).
Surat yang pertama adalah meminta tim gabungan Polri untuk menyampaikan transparansi dan akuntabilitas proses kerja yang mereka lakukan. "Sudah tiga bulan tim gabungan berisi banyak perwira banyak prnyidik, banyak sekali kalau kita melihat, itu belum ada hasil yang berarti yang disampaikan kepada publik dan belum terungkap kasusnya," tegasnya.
Kedua, sambung dia, pihaknya juga sudah melaporkan kepada KPK terkait dengan obstruction of justice atau menghalang-halangi penyidikan terkait kasus Novel Baswedan. "Kami sudah meminta kepada Pimpinan KPK mengenai tindak lanjut dari surat tersebut. Berkenaan situasi hari ini yang mana sudah 700 hari dan mendekati dua tahun tidak ada perkembangan berarti, kasus masih gelap," tegasnya.
Adapun, dalam aksi 700 hari penyerangan Novel, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyimpulkan penyerangan terhadap Novel adalah sebagai percobaan pembunuhan adalah pelanggaran HAM. "Pertama, karena Novel menjalankan tugas sebagai Penyidik KPK dianggap sedang memperjuangkan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya," kata Saleh Al Ghifari di Gedung KPK Jakarta, Selasa (12/3).
Kedua, karena pengungkapan kasus Novel terbukti tidak mendapatkan penyelesaian hukum yang adil dan benar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Novel Baswedan dalam hal ini kembali menjadi korban karena penundaan berlarut (undue delay) pengungkapan kasus yang sangat lama dari kepolisian.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan bukanlah teror yang pertama kali dialaminya. Terhitung sudah lima kali ia mengaiami teror sebelumnya. Mulai dari ditabrak hingga ancaman bom.
Selain itu, terhadap pengawai KPK lainnya sudah terjadi pula delapan kali teror yang cukup serius. Mulai dari diculik hingga ancaman pembunuhan. Selain itu, berdasarkan data yang dirih's Transpararency International Indonesia pada 2017 terdapat 100 kasus ancaman teror bagi pelapor, saksi dan korban dalam kasus korupsi dari tahun 2004.
Kasus-kasus teror yang dialami Novel, penyidik KPK lainnya dan para pegiat antikorupsi kesemuanya mengalami undue delay dalam penanganan kepolisian. Padahal, penyidikan suatu perkara di kepolisian terdapat batas waktu seperti diatur pada Pasal 31 Ayat (2) Peraturan Kepala Polri (Perkap) Nomor 12 Tahun 209 yang membatasi lama maksimal penyelesaian penyidikan di kepolisian adalah 120 hari.
Novel sudah pasrah
Pada akhir Januari lalu, dalam sebuah bedah novel 'Teror Mata Abdi Astina' di Jakarta, Novel Baswedan meluapkan keluh kesahnya akan potret penegakan hukum di Indonesia. Pria berpangkat Komisaris Polisi itu menilai betapa anehnya, orang-orang yang ingin menegakkan hukum justru diburu dan diserang.
"Kita ingin Indonesia baik. Kenyataannya, mereka yang harusnya melakukan penegakan hukum diteror. Sunggu keterlaluan," kata Novel dalam Sabtu (26/1).
Novel menuturkan, praktik korupsi di Indonesia sudah amat parah. Sebab, hampir terjadi merata di semua sektor. Praktik korupsi juga telah dilakukan secara tersistematis sehingga mampu mengaburkan praktik korupsi yang diperbuat koruptor.
Keadaan bertambah miris lantaran mereka yang seharusnya ikut mengawasi justru terlibat dalam lingkaran korupsi. Alhasil, teror-teror yang dilakukan kepada anggota KPK seolah ditutupi dan dibiarkan.
"Itu kejahatan. Itu luar biasa," kata Novel.
Menurut laki-laki berusia 41 tahun itu, sebuah negara tidak akan benar jika kondisi penegakan hukum tidak dalam kondisi baik. Cita-cita membangun perekonomian, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat sulit dicapai jika urusan hukum belum beres. Novel menilai, apapun kebijakan yang dibuat pasti ada celah ketika penegakan hukum bermasalah.
Pada momen Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 kali ini, ia juga menyangkan sikap sebagian masyarakat yang luput akan persoalan hukum. Mayoritas masih seperti nyaman dan betah berdebat seputar politik identitas yang minim esensi.
Pria kelahiran 22 Juni 1977 itu menilai, tanpa presiden yang langsung ikut turun tangan, kasus kejahatan yang menerpa dirinya tak akan terungkap. Sekadar berharap kepada seorang Kapolri, dinilai Novel akan amat kurang kuat. Sebab, seorang Kapolri tetaplah bawahan seorang kepala negara yang bisa diintervensi dari kepentingan politik dan kekuasaan tertentu.
"Sangat tidak tepat kalau saya hanya menyalahkan Pak Kapolri. Saya ingin katakan Pak Presiden sebagai pemimpin negara mestinya peduli," ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo pernah meminta agar publik bersabar dan menunggu kinerja tim gabungan penanganan kasus Novel Baswedan untuk membuktikan profesionalitasnya. Belakangan, tim gabungan menuai kritik lantaran pembentukannya dinilai memiliki unsur politis.
"Tolong berikan kesempatan pada tim gabungan yang dibentuk Bapak Kapolri, untuk bekerja secara profesional," kata Dedi di Jakarta, Selasa (15/1).
Dedi mengatakan, penanganan setiap kasus tidak sama dan memiliki kerumitannya sendiri. Tim gabungan yang dibentuk atas rekomendasi Komnas HAM ini akan bekerja secara komprehensif termasuk menerima saran dari sejumlah pihak dan menganalisis temuan-temuan dalam kasus yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
"Semuanya fokus dan komitmen dalam mengungkap kasus ini," tegasnya.
Jejak Kasus Novel Baswedan