Jumat 08 Mar 2019 11:31 WIB

PBB Minta Akses ke Xinjiang

Teknologi pengenalan wajah tanda intaian mendalam terhadap aktivitas warga Xinjiang.

Muslim Uighur
Foto: ABC News
Muslim Uighur

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Yeyen Rostiyani

JENEWA -- Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet, Rabu (6/3), mengatakan ia sedang mencari akses agar Cina mengizinkan PBB masuk ke Provinsi Xinjiang, Cina. Akses itu diperlukan untuk memeriksa laporan tentang orang hilang dan penahanan sewenang-wenang, khususnya terhadap Muslim di Xinjiang.

"Kantor kami sedang berupaya menangani isu ini bersama Pemerintah (Cina) agar mendapatkan akses penuh untuk melakukan penelusuran yang independen terhadap laporan yang terus-menerus kami terima tentang adanya pola besar yang menunjukkan penghilangan paksa dan penahanan sewenang-wenang, khususnya di Kawasan Otonomi Uighur Xinjiang," kata Bachelet.

Belakangan, Cina kian menghadapi tekanan internasional atas program mereka yang disebut sebagai "pusat reedukasi dan pelatihan" di wilayah terpencil Cina barat tersebut. Sedangkan para aktivis menyebut pusat pelatihan tersebut sebenarnya adalah tahan an massal tempat lebih dari 1 juta warga Uighur dan Muslim lain berada.

Permintaan Bachelet ini adalah kedua kalinya dalam enam bulan terakhir disampaikan di Dewan HAM PBB. Di dewan inilah delegasi Cina diharapkan dapat memberikan tang gapan pekan ini. Sebelumnya Cina pernah menyatakan akan menyambut kedatangan utusan PBB. Namun, mereka tetap meminta PBB tidak mencampuri urusan dalam negeri Cina.

Pada Selasa (5/3) lalu, penyidik PBB untuk kebebasan beragama Ahmed Shaheed telah membeberkan permintaannya sejak Februari lalu untuk bisa berkunjung ke Xinjiang. Ia menyatakan akan melakukan penyelidikan atas undang-undang perlucutan ekstremisme. Namun, ia mengaku tak kunjung mendapatkan jawaban dari Cina.

"Saya telah mengajukan permintaan berkunjung ke sana karena ini prioritas saya dalam rangka mencari tahu hal yang sebenarnya di sana. Ada alasan untuk mengkhawatirkan laporan tentang kawasan Xinjiang," ujar Shaheed yang dikutip Aljazirah.

Shaheed, mantan menteri luar negeri Maladewa, mengaku bahwa ia termasuk di antara sejumlah ahli HAM PBB yang juga sempat menuliskan kekhawatiran mereka kepada Cina. Kekhawatiran itu ditujukan pada program yang membidik ekstremisme.

Surat permintaan tersebut juga ditandatangani para penyelidik PBB mengenai penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, kebebasan berekspresi, isu minoritas, dan perlindungan hak asasi manusia saat mengangani terorisme.

"Saya bersama penyelidik lain menuliskan surat permohonan kepada Cina terkait undang-undang 'deeks tremifikasi' yang sedang mereka terapkan, yang menurut sejumlah laporan saat ini ada jutaan yang menjalani pelatihan," kata Shaheed.

Sementara itu, seorang periset keamanan siber dari Belanda, Victor Gevers, mencicitkan hasil temuannya secara daring tentang data pribadi warga yang dikumpulkan Pemerintah Cina. Menurut Gevers, pengintaian yang dilakukan Pemerintah Cina di Xinjiang amat mendalam.

Menurut Gevers, Xinjiang bergitu ketat diawasi baik oleh banyaknya pos pemeriksaan keamanan oleh polisi maupun kamera pengintai. Namun, semua fasilitas itu ternyata lebih dari sekadar merekam kejadian yang ada.

Data yang ditemukan Gevers menunjukkan alat pengintai itu bertugas merekam aktivtas warga dengan melacak melalui teknologi pengenalan wajah. Bahkan hanya dalam waktu 24 jam saja, data menunjukkan ada lebih dari catatan 6,7 juta koordinat lokasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement