Kamis 07 Mar 2019 14:23 WIB

Penangkapan Robet Tanda Belum Tuntas Reformasi di Militer

TNI seharusnya memandang kritik Robet dorongan untuk melakukan perbaikan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia menanggapi penangkapan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet yang mengkritisi wacana penempatan anggota TNI aktif di jabatan-jabatan sipil. Penangkapan Robet, yang juga merupakan salah satu pendiri Amnesty International Indonesia, merupakan penanda belum tuntasnya reformasi di tubuh militer.

Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, hal tersebut mendorong polisi untuk bertindak sebagai alat untuk merepresi kebebasan berpendapat. Apalagi, ia mengatakan, kepolisian bukan hanya menangkap, melainkan juga menetapkan Robert sebagai tersangka.

“Yang seharusnya dilakukan oleh polisi adalah melindungi Robet yang telah menggunakan haknya untuk menyatakan pendapat secara damai dalam mengkritik TNI, bukan menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka," kata Usman dalam pernyataan resminya, Kamis (7/3).

Usman menambahkan, kepolisian tidak boleh bertindak sebagai alat represi terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik secara damai. Ia mengatakan kritik yang dilontarkan Robet terhadap militer bukanlah suatu tindak pidana, melainkan sesuatu yang lumrah dalam suatu negara yang mengklaim menjunjung kebebasan sipil seperti Indonesia. 

"TNI harusnya memandang kritik Robet dorongan untuk melakukan perbaikan seperti yang dimandatkan oleh reformasi,” tambah Usman.

Ia mengatakan apa yang dialami oleh Robet adalah suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap siapapun yang ingin menyuarakan pendapatnya secara damai. 

Untuk itu, Amnesty International mendorong kepolisian segera dan tanpa syarat membebaskan Robet. Kepolisian juga wajib memberikan perlindungan bagi Robet dan keluarganya dari segala kemungkinan ancaman.

“Kepolisian harus menghentikan penyidikan kasus Robet karena apa yang dilakukannya hanyalah menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menyuarakan kritik secara damai,” ujar Usman.

Sebagai kepala negara, Presiden Joko Widodo juga seharusnya melihat penangkapan sebagai tamparan buat pemerintah. Sebab, tindakan kepolisian tersebut telah menciderai iklim kebebasan berekspresi di masa pemerintahannya.

“Kami meminta agar Presiden Jokowi berinisiatif memanggil Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk meminta penjelasan terkait penangkapan Robet dan segera memerintahkan Kapolri untuk mengevaluasi kinerja penyidik yang telah melakukan pelanggaran HAM dengan menangkap Robet,” kata Usman.

Robet dijerat terkait ujaran kebencian dengan tuduhan pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 14 ayat 2 juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

“Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] harus menggunakan momentum ini untuk berinisiatif melakukan revisi terharap pasal-pasal karet seperti yang ada di dalam UU ITE yang sering disalahgunakan untuk membungkam mereka-mereka yang menyuarakan kritik di masyarakat,” kata Usman. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement