REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril mengatakan masih ada beberapa kendala bagi para difabel (different ability) untuk berpartisipasi dalam pemilu. Menurutnya, kendala itu ada di tingkat praktis (implementasi kebijakan).
"Dalam tataran kebijakan sudah bagus. Tapi di tingkat praktis atau implementasi masih ada beberapa kendala. Misalnya saat mengantri di TPS, teman-teman tuna rungu tidak mendengar panggilan antrian. Selain itu, ada beberapa TPS yang sulit dijangkau misalnya harus melangkahi selokan atau terpencil," kata Gufroni, Selasa (5/3).
Gufroni menambahkan di perkotaan seperti Jakarta masalah yang dihadapi para difabel sudah mendapatkan perhatian. Namun, di beberapa daerah masalah tersebut belum mendapatkan perhatian yang baik. Gufroni juga menuturkan ada petugas TPS yang tidak memahami surat suara model Braille. "Bahkan pernah kejadian, petugas TPS tidak memahami surat suara jenis Braille," katanya.
Menanggapi masalah yang dihadapi penyandang difabel, salah satu komisioner KPU Pramono Ubaid Thantowi mengatakan KPU sudah memberikan bimtek serta buku panduan bagi KPPS. Hal itu bertujuan menjadikan TPS semakin ramah bagi kaum difabel. Selain itu, masalah tersebut sudah diatur dalam juknis dan PKPU.
Ketika disinggung soal petugas pendamping disabilitas di TPS, Pramono menuturkan pendampingan diberikan sesuai dengan permintaan. Petugas TPS akan mendampingi jika diminta atau difabel akan minta didampingi oleh keluarga.
Berdasarkan UU nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas pasal 13 huruf a disebutkan difabel memiliki hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pada pemilu 2019, terdapat 1,24 juta difabel yang terdaftar di DPT.