Rabu 06 Mar 2019 04:33 WIB

Al Gazali dan Dendam Para Anak Revolusi

Al Ghazali dan Dendam para anak revolusi apakah akan terus diturunkan

Perlawanan rakyat Ternate. (Foto koleksi DR Muridan: Sampul buku tentang perjuangan Sultan Nuku)
Foto: istimewa
Perlawanan rakyat Ternate. (Foto koleksi DR Muridan: Sampul buku tentang perjuangan Sultan Nuku)

Oleh: DR Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle

Beberapa minggu lalu Al Gazali menjadi tamu penting Solahuddin Wahid (Gus Solah). Al Gazali datang berkunjung ke Pesantren Tebu Ireng Jombang. Dia bermaksud mencari dukungan politik untuk nasib ayahnya, Ahmad Dhani, yang sedang di penjara.

Al, demikian panggilannya, duduk diterima dengan hormat disebelah Gus Solah. Tidak terlihat Al sebagai anak lagi, tapi Al dengan pecinya dan jalannya yang tegak gagah, terlihat dewasa.

Video singkat yang viral tentang kunjungan Al itu mungkin tidak terlalu penting buat banyak orang. Namun, sebagai pengamat yang mengerti sejarah bangsa ini, saya tertarik benar dengan kisah itu.

Dua orang yang bertemu di pesantren bersejarah itu bukanlah orang-oranh biasa. Pesantren itupun bukan pesantren biasa. Bagaimana begitu?

Sebab, dua orang itu mengalir darah perjuangan dalam dirinya. Gus Solah tentu kita sudah faham. Dia adalah cucu pendiri NU dan pesantren itu adalah pesantren yang didirikan kakeknya, sebuah pesantren yang tercatat sebagai inspirasi gerakan 10 November 1945.

Namun, Al tak kalah penting. Dia adalah cicit buyut dari Utari. Utari adalah perempuan penting di Republik ini. Pertama Utari menyandang nama Tjokro Aminoto, bapaknya. Tjokro ini adalah guru dari hampir semua bapak bangsa yang militan. Kedua, Utari adalah perempuan pertama yang disebelah namanya menyandang nama Sukarno. Utari adalah istri pertama Sukarno, sebelum Sukarno direbut ibu kos mereka dari utari.

Meski Al tidak mengalir darah Sukarno dalam dirinya, namun mengalir darah Tjokroaminoto. Hal itu berarti secara bilogis, Al berkoneksi dengan sejarah bangsa kita. Dia tidak seperti saya, misalnya, yang tidak mampu menghadirkan sejarah kejuangan nasional.

Kehadiran Al dihadapan Gus Solah bukanlah Al sebagai sosok artis lagi. Al telah berubah atau mulai berubah menjadi sosok politik. Itu adalah sejarah baru yang menimpa Al sebagai risiko politik yang diwariskan ayahnya, Ahmad Dhani. Namun, sejarah bisa saja mencatat dia akan mewarisi sejarah kakek buyutnya, HOS Tjokroaminoto.

Anak-anak Revolusi

Al adalah anak-anak revolusi. Anak-anak revolusi adalah anak-anak yang tumbuh dari bapaknya atau kakek/buyutnya yang menjadi korban politik. Di masa Belanda, anak-anak ini adalah anak-anak yang bapaknya di penjara karena melawan Belanda, di masa Jepang karena melawan Jepang, di masa Orde Lama karena bapak/ibunya di penjara maupun dibunuh bung Karno, di masa Orde Baru adalah anak-anak yang bapak/ibunya dibunuh atau dipenjarakan Suharto, di masa ini mereka adalah anak-anak yang bapaknya dipenjarakan Jokowi karena berbeda pandangan politik.

Menjadi anak-anak revolusi adalah peristiwa berat. Anak-anak itu berkembang dalam ruang kekuasaan yang anti pada kehadirannya. Seorang sahabat senior saya dahulu, slmsrhum Cacuk Sudariyanto, di pecat dari posisinya sebagai Dirut Telkom, hanya karena diisukan anak Komunis. Padahal peristiwa sesungguhnya dia tidak memenangkan tender seorang anak Suharto. Ketika forum di mana Cacuk maju untuk ketua Alumni ITB, orang2 berteriak "anak PKI- anak PKI, jangan pilih anak PKI" , pada 1997.

Anak-anak revolusi ini bisa tumbuh dalam pikiran ideologis leluhurnya. Ada yang meneruskan perjuangan Islam, seperti anak Kahar Muzakkar dan menantunya almarhum Wahid Kadungga, di Rotterdam, Belanda. Ada juga yang sekedar ingin membalas dendam sejarah.

Namun, yang jelas, anak-anak revolusi ini bukanlah anak-anak pencuri, koruptor atau kriminal. Anak-anak revolusi ini meyakini bahwa kebenaran itu adalah kebenaran versi leluhurnya. Makanya, jangan heran anak-anak eks PKI selalu menuntut pemerintah Indonesia merehabilitasi nama baik leluhurnya.

Dendam

Sejarah Jawa (Nusantara) adalah sejarah penuh dendam. Pramudya Ananta Toer melukiskannya dalam novel "Arok Deses" atau kita dapat membaca ceritanya "Game of Thrones Ala Kraton Jawa dan Yogyakarta" (tirto .id).

Kekuasaan dan dendam adalah siklus yang terus menerus terturunkan.

Anak-anak orde Sukarno, anak-anak keturunan PKI, anak-anak keturunan Darul Islam, anak-anak keturunan GAM, anak-anak keturunan pengikut Organisasi Papua Medeka, Anak-anak korban pembunuhan jenderal-jendral Orde Baru, Anak-anak tentara korban pembunuhan PKI, dan anak-anak lainnya tumbuh menghiasi sejarah bangsa ini dengan dendam.

Dendam-dendam ini apabila terwujud dalam agenda ideologi dapat menjadi spirit positif bagi perjuangan. Sejarah Khomeini di Iran dan Muammar Khadafi di Libya adalah sejarah "dendam" multi generasi. Namun, jika dendam ini berjalan liar, maka yang berlangsung adalah siklus dendam yang saling menghancurkan. Dan ini buruk buat perjalanan bangsa.

Penutup

Penjara politik tentunya penting ada untuk memelihara stabilitas politik dan kekuasaan. Persoalannya adalah apakah pemenjaraan itu masuk akal atau tidak? Apakah pemenjaraan itu hanya diobral untuk mempertahankan kekuasaan an sich?

Aspek kesejarahan bangsa yang penuh dendam mungkin sebab utama pendiri bangsa menyepakati azas musyawarah untuk mufakat sebagai fundamental kehidupan berbangsa. Kegagalan di masa Orde Baru seharusnya diobati dengan rencana Komisi Rekonsiliasi Nasional paska reformasi. Namun gagal. Jokowi pada 2017 juga ingin menghidupkan Dewan Kerukunan Nasional, namun mangkrak.

Bukannya mengarah pada kerukunan, malah masa rezim Jokowi ini, pemenjaraan politik kelihatannya "over dosis". Situasi saat ini pemenjaraan politik dianggap suka suka.

Al Gazali tumbuh sebagai anak-anak revolusi. Anak-anak lainnya dari Ustad Ikhsan Tanjung, Buni Yani, Hatta Taliwang, Sri Bintang, dan lain sebagainya akan memupuk benih-benih dendam.

Bagaimana mereka membangun sejarah bangsa ini ke depan? Apakah Al Gazali mampu meneruskan "dendam ideologis" HOS Tjokroaminoto?

Allahua'lam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement