Sabtu 02 Mar 2019 05:01 WIB

Kuntowijoyo dan Kesadaran Sosial Umat Islam

Kuntowijoyo memotret bangkit dan tumbuhnya kesadaran sosial umat Islam Indonesia.

islam jawa
Foto: gahetna.nl
islam jawa

Oleh: Hasanul Rizqa, Jurnalis Republika

Mendiang sejarawan dan budayawan Kuntowijoyo pernah menulis pada pertengahan 1985-an tentang bangkot dan tumbuhnya kesadaran umt Islam Indonesia. Dalam kajiannya itu dia mencoba memetakan tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam di Indonesia. Menurutnya, ada tiga era, yang masing-masing dinamakannya periode mitos, periode ideologi, dan periode ilmu.

Periode pertama terjadi ketika umat Islam berada dalam situasi hierarkis kawula (petani) dan wong ageng(raja/istana). Ini terutama sejak jatuhnya kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Sejak permulaan abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, umat Islam di Nusantara hanya subordinan dalam konstelasi politik-sosial.

Kesultanan Demak berkarakter maritim dan kosmopolitan. Bahkan, raja pertamanya, Raden Patah, disebut-sebut memiliki darah Cina. Demak sendiri merupakan kota pelabuhan penting di Jawa. Namun, masa hidup Kesultanan Demak hanya setengah abad. Maka wajarlah umat Islam belum mampu mengorganisasikan diri mereka. Paling-paling, mereka mengelompok di belakang pribadi-pribadi karismatik, semisal kiai atau haji.

Kuntowijoyo mencatat, dalam masa itu umat Islam beraksi tetapi terpecah da lam ikatan-ikatan skala kecil. Penyebabnya, umat Islam di zaman itu dipukul dua pihak sekaligus. Pertama, kolonialisme Eropa yang awalnya berkedok berdagang rempah-rempah.

Kekuatan bahari Portugis hingga Belanda mulai mencaplok kota-kota pelabuhan penting di pesisir Nusantara. Sebut saja Giri, Tuban, Gresik, Jepara, Demak, Semarang, Cirebon, Jaya karta (Jakarta), dan Banten. Tentu saja, elite Muslim sempat mengadakan perlawanan.

Pada 1546, misalnya, Sultan Demak memimpin armada melawan Portugis di Malaka, meskipun upaya-upaya semisal ini berujung gagal. Kedua, adanya tekanan dari pedalaman yakni apa yang diistilahkan AE Priyono renaisans Hindu Jawa yang hendak menegaskan kembali ideologi negara agraris-patrimonial. Dalam artikelnya, Pendekatan Evolusioner atas Budaya Politik Umat, Kuntowijoyo mengungkapkan dalam era itu ada pergeseran pusat politik Jawa dari pantai utara ke wilayah pedalaman, yakni Pajang, dan kemudian Mataram.

Dia menduga, alasannya adalah peningkatan permintaan stok beras di pasaran internasional sehingga Jawa memerlukan perluasan persawahan ke selatan. Upaya demikian terutama dilakukan Pangeran Senapati, yang menyatakan kekuasaannya independen dari Pajang. Pemimpin ini membuka lahan-lahan baru yang kelak menjadi Mataram. Karena ingin memonopoli pasar, penguasa Mataram berambisi menaklukkan pusat-pusat dagang urban di pantai utara.

Demikianlah, Negara Mataram yang baru muncul ini--yang tandingannya mungkin hanya ditemukan di Aceh-mampu menyentralisasikan (memusatkan)birokrasi dan ekonomi dengan mengorbankan kota-kota pesisir dan pedagang Muslim, tulis Kuntowijoyo. Bila dibanding kan dengan Aceh, misalnya, Jawa memang cenderung feodal.

Di Aceh, para saudagar tidak bergantung pada Istana, meski mengakui kekuasaan politiknya. Mereka hidup dan menjadi kaya dari aktivitas niaganya, sedangkan raja atau pihak Istana kekayaannya dari memungut pajak.

Sekarang, beranjak ke periode kedua, yang berlangsung sejak awal abad ke-20 hingga tahun 1920. Di sinilah fajar modernisme mulai sampai ke Hindia Belanda. Kalangan terdidik, baik itu Muslim maupun non-Muslim, banyak yang mengi nisiasi organisasi.

Bagi Kuntowijoyo, dalam periode ini umat Islam mengalami peran bukan lagi sebagai kawula, melainkan rakyat kecil (wong cilik). Mentalitas kawula menganggap raja (gusti) berkuasa secara tak terbantahkan sehingga memunculkan hierarki vertikal yang tegas.

Sebaliknya, konsep wong cilik cenderungmeruangkan sisi horizontal. Dalam periode ini, muncul kelas menengah--utamanya kaum terdidik Barat--yang mendefinisikan ulang dasar kekuasaan. Identitas bangsawan bukan hanya milik genealogis raja-raja, melainkan dapat bersumber dari tingkat pendidikan.

Bagi Kuntowijoyo, periode ini menjadi penting bagi percik-percik kebangkitan. Sebab, umat Islam mendominasi kelas pedagang umumnya secara tradisional. Politik Etis membuka keran pendidikan Barat kepada golongan pribumi (Muslim), khususnya yang dekat dengan penguasa kolonial.

Hasilnya, mulai muncul kaum terpelajar di kancah perpolitikan. Mereka men capai posisi-posisi penting dengan jalan yang rasional, bukan karena garis-keturunan. Mereka juga menjadi loko motif perubahan dengan mengorga nisasi aksiaksi umat Islam.

Bila dalam periode pertama umat Islam mengalami kesadaran mistis-utopian (sehingga mempercayai begitu saja mitos Ratu Adil dsb), maka dalam periode kedua ini umat Islam mulai menggariskan ideologi. Sarekat Islam (SI), misalnya, merumuskan situasi sosial ke dalam tiga kelompok: Belanda, Cina, dan pribumi (Muslim).

Dengan piramida sosial itu, SI berideologi anti-monopoli asing. Imbasnya, kesadaran adanya konflik kelas sosial menjadi nyata. Bahkan, konflik kelas di dalam tubuh SI kelak meruntuhkan dirinya sendiri setelah orang-orang Komunis dapat menyusup ke dalamnya dengan mengusung retorika pro-buruh.

Selain SI, ada pula umpamanya Muham madiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Mereka merupakan asosiasi yang di dalamnya identitas keumatan menguat. Demikianlah dalam masa itu. Kunto wijoyo mencontohkan, pada 1917 ada kasus sebuah koran Surakarta memuat sebuah tulisan yang dinilai menghina Rasulullah SAW. Setahun kemudian, muncul deklarasi-deklarasi di seantero Hindia Belanda, yakni Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Sejak saat itu, tumbuh perluasan iden titas kami-kalian atau umat dan non-umat di Indonesia.

Beranjak ke periode ketiga, yakni sejak hengkangnya Belanda, datangnya pendudukan militer Jepang, dan prokla masi 17 Agustus 1945. Kesadaran horizontal tadi bergeser, yakni dari identitas keumatan men jadi identitas kewarganegaraan karena nasionalisme menguat. Di antara tokoh-tokohnya adalah Sukarno, sosok yang juga menyebut dirinya seorang Muhammadiyah (maknanya tidak ingin lepas dari identitas keumatan).

Begitu Indonesia merdeka, tokoh-tokoh umat Islam menggelorakan perjuangan mempertahankan kedaulatan di hadapan Belanda atau Sekutu pemenang Perang Dunia II. Dalam perang dahsyat di Surabaya, misalnya, seruan jihad menjadi pembakar semangat yang amat besar untuk para pejuang.

Singkatnya, sejak pengakuan kedaulatan RI pada 1949 sampai hari ini, umat Islam bukan lagi dalam posisi sebagai kawula dan/atau wong cilik, melainkan warga Indonesia, sebuah negara yang heterogen. Namun, inilah dilemanya. Kuntowijoyo menyayangkan bila sampai ada kini segelintir kaum Muslim Indonesia yang bermentalitas kawula. Mental tersebut melihat negara sebagai gusti, alih-alih kekuasaan yang demokratis.

Sekarang, semestinya umat Islam Indonesia menyadari peran sebagai warga. Caranya dengan memahami apa saja hakhak dan kewajiban-kewajiban terhadap negara. Dahulu, orang sebagai kawula tidak boleh berkata lugas di hadapan raja. Kini, semua warga berhak bicara. Dengan hak tersebut, umat Islam dapat mengo reksi jalannya negara.

Misalnya, Pancasila telah disepakati sebagai ideologi negara. Bila rezim-rezim tertentu berslogan Pancasila tetapi tindakan-tindakannya jauh dari kelima sila itu, maka umat Islam mesti bersuara. Pertanyaannya: suara seperti apa yang patut didengarkan? Sebagai seorang ilmuwan sosial, Kuntowijoyo mencermati kemungkinan-kemung kinan jawaban atas pertanyaan semacam ini.

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement