Ahad 03 Mar 2019 05:03 WIB

Kafir dan Iman tidak Bisa Diamandemen

Istilah kafir dan iman seharusnyaditerima sebagai hal biasa.

Umat Islam melaksanakan Salat Idul Fitri. (ilustrasi)
Foto: dokrep
Umat Islam melaksanakan Salat Idul Fitri. (ilustrasi)

Oleh: Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI

Kata “Kafir” itu istilah dalam kitab Suci, gak bisa diamandemen, itu wahyu Ilahi. Tapi jika ada kata kafir dalam konstitusi dan undang-undang, mari kita amandemen, itu buatan manusia. Katanya kita disuruh jangan campur agama dan politik. Beginian saja tak bisa dicerna.

Lagi pula, kata “kafir” dan padanannya ada di banyak agama. Kenapa yang jadi korban hanya agama Islam? Kenapa Alquran yang dipersoalkan? Susah banget mau jadi orang Islam. Kalau oleh konsep iman agama lain saya disebut kafir ya terima saja. Memang kenapa kalau kafir?

Justru kedewasaan berwarganegara dan toleransi itu ditentukan oleh kemampuan kita untuk mencerna perbedaan konsep dalam iman. Ini malah toleransi mau merasuk pada perubahan konsep iman. Lah apa hak kita mengubah konsep iman? Nabi aja gak boleh. Heran saya. Ini kan sederhana.

Susah kalau tokoh Islam minder dengan konsep iman mereka sendiri. Semoga ke depan lahir generasi yang percaya diri dari pesantren dan sekolah-sekolah agama. Sehingga tegaklah agama dan tegaklah negara. Sebab kalau ulama minder maka negara kacau. Ini potret hari ini.

Harusnya warga negara didewasakan untuk menerima konsep iman yang beragam. Toleransi pada perbedaan adalah syarat kewarganegaraan. Agama tidak perlu diamandemen sebab ia telah didesain untuk mengelola perbedaan. Kalau Tuhan mau, kita tidak bakal beragam.

Tuhan Maha Kuasa untuk menyeragamkan kita sejak DNA sampai pada pilihan iman. Tapi 'Dia' yang maha kuasa tidak mau. Ini karena supaya kita berlomba mengejar kebaikan. Sekarang, ayo berbuat baik. Ayo berbuat baik untuk bangsa. Ayo berdialog sebagai warga negara. Itu saja.

Jangan sekali-kali ada majelis duduk untuk saling merevisi iman. Itu sakit jiwa namanya. Santai aja, mari kita berlomba menemukan cara untuk saling menikmati perbedaan. Masa menerima “Kafir” aja gak sanggup? Ya ampun. Dewasalah bangsaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement