REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon wakil presiden (cawapres) Maruf Amin menanggapi hasil pembahasan Bahtsul Masail Maudluiyah NU yang memutuskan untuk tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia. Menurut Maruf, rekomendasi PBNU tersebut dikeluarkan untuk menjaga keutuhan bangsa.
"Ya mungkin supaya kita menjaga keutuhan, sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, mendiskriminasikan gitu. Mungkin punya kesepatakan untuk tidak menggunakan istilah itu," kata Maruf saat di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3).
Maruf mengaku tidak mengikuti langsung Bahtsul Masail tersebut lantaran saat itu Kiai Maruf tengah melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jawa Barat untuk menyerap aspirasi masyarakat. Kendati, Mustasyar PBNU ini mengatakan, jika para ulama telah sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi non muslim di Indonesia, berarti hal itu memang diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.
"Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari," kata Ketua Umum MUI ini.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail yang dinilai penting untuk diketahui masyarakat, terutama bagi warga Nahdliyin. Pertama, perihal istilah kafir.
Kiai Said mengatakan, berdasarkan hasil Bahtsul Matsail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa. Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim. Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi.
“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar. Tapi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim. Ada tiga suku non-Muslim di sana, tapi tak disebut kafir," katanya.