REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen Fakultas Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Profesor drh Lili Zalizar, berhasil menciptakan krim antimastitis untuk ternak sapi perah. Krim diciptakan sebagai langkah menindaklanjuti penelitiannya tentang mastitis.
Lili menjelaskan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyebut penyakit radang ambing atau yang dikenal sebagai mastitis merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp 10 juta per ekor setiap tahunnya. Hal ini jelas mengakibatkan penurunan produksi susu, kualitas susu, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal serta pengafkiran dini sapi produktif.
Berangkat dari hal ini, Lili pun melakukan penelitian tentang kasus mastitis. Dari penelitiannya, ia menemukan kondisi di peternakan sapi perah yang paling merugikan itu karena radang kelenjar susu. "Terdapat dua jenis mastitis yakni gejala klinis yang jelas (Mastitis Klinis) dan yang gejala tidak nampak (Subklinis)," kata Lili melalui pesan resmi yang diterima Republika.co.id, Jumat (1/3).
Lili menyebutkan, gejala yang banyak ditemui pada ternak sapi perah biasanya berupa gejala subklinis. Ciri-cirinya sulit untuk dideteksi peternak karena tidak nampaknya gejala yang ditimbulkan.
Sebelumnya, Lili mengaku pernah meneliti pada salah satu wilayah di Pujon. Dari satu daerah saja terdapat 60 persen sapi yang terkena mastitis sub klinis. Kebanyakan baru dapat diketahui saat sudah dalam kondisi sangat parah.
Selain kerugian ekonomis, penyakit mastitis secara tidak langsung dapat berdampak pada kesehatan manusia. Peningkatan kejadian penyakit mastitis, diikuti dengan peningkatan penggunaan antibiotika. Dalam hal ini pada gilirannya berpotensi meningkatkan residu antibiotik dalam air susu dan potensi peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotika.
"Gangguan ini mengakibatkan masalah kesehatan bagi manusia," tambahnya.
Berdasarkan hasil identifikasinya yang pernah dilakukannya di sentra sapi perah di Jawa Barat, bakteri patogen penyebab mastitis itu berjenis Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae. Penularan bakteri ini, melalui puting dan berkembang biak dalam kelenjar susu. Hal ini terjadi karena puting yang habis di perah terbuka, kemudian kontak dengan lantai atau tangan pemerah yang mengandung bakteri.
Pada kondisi parah sapi terdampak Mastitis, susu yang dihasilkan sapi perah tidak bisa dicampur dengan lainnya dan terlihat pecah. Ini juga sejalan dengan hasil penelitiannya pada kasus mastitis subklinis sapi perah laktasi di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Lili lantas melakukan riset untuk pengobatan dan pencegahan pada kasus mastitis dan menghasilkan produk berupa krim antimastitis.
Sapi yang telah selesai diperah, ambing susu sapi yang langsung diolesi krim ini mempunyai jumlah bakteri yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberi krim antimastitis. “Dengan demikian peluang untuk menjadi mastitis lebih rendah dibandingkan yang tidak diolesi krim. Hal ini karena semakin tinggi jumlah bakteri maka peluang terjadinya mastitis lebih tinggi," ujar dia.
Lili berencana memproduksi temuannya menjadi produk komersial. Pengemasan pada produk krim anti mastitis sendirj sudah setahun berjalan.
Saat ini, ia melanjutkan, produksi krim masih untuk kalangan tertentu yang tersebar ke beberapa tempat. Beberapa di antarany Koperasi Jabung dan peternak di wilayah Pujon. Ke depan, dia berharap bisa memprodusi produk ini secara massal dan memiliki hak paten.
Hilirisasi dan komersialisasi hasil penelitian memang tengah menjadi perhatian besar UMM. “Kita tidak hanya melakukan penelitian untuk dijadikan jurnal saja, tapi hasil dari penelitian kita terapkan menjadi sebuah produk agar masyarakat juga bisa merasakan hasil dari penelitian nya. Salah satunya berupa krim anti mastitis ini,” ucap dosen asal Subang, Jawa Barat ini.