REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan peneliti senior pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jan Sopaheluwakan menyebutkan bencana gempa bumi yang terjadi Solok Selatan, Sumatra Barat bukanlah megathrust. Gempa bumi di Solok karena wilayah ini dilalui patahan Sumatra.
"Gempa di Solok Selatan bukan megathrust, sebab kalau megathrust maka sumber gempanya pasti masuk ke bawah (laut). Padahal pusat gempa itu di daratan, jadi itu pasti Patahan Sumatra," ujarnya saat ditemui Republika, di Jakarta, Kamis (28/2).
Jan menganalisis, wilayah Solok memang dilewati Patahan Sumatra. Ia menyebutkan, patahan ini membentang dari Banda Aceh sampai Teluk Semangko di Lampung dan akan patahan akan terus bergeser. "Kemudian dia (patahan) akan menciptakan energi lepas, bergerak, dan kemudian menjadi gempa," katanya.
Karena itu, ia menyebut wilayah yang dilalui patahan ini akan kembali mengalami gempa dan jika kekuatannya besar sekitar magnitudo (M) 7 maka bencana ini diprediksi bisa terulang sekitar 70 tahun sekali. Sedangkan gempa dengan kekuatan 5 skala richter (SR), ia menambahkan, bisa terjadi lebih cepat yaitu sekitar 20-30 tahun sekali dan ada di titik dan tempat yang sama. Kendati demikian, ia menyebut gempa di Solok hari ini terjadi di kedalaman dangkal karena di bawah 30 kilometer (km).
Sebelumnya Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, gempa bumi dengan kekuatan magnitudo (M) 5 yang berpusat di darat pada kedalaman 10 km berpusat di 50 km tenggara Solok Selatan menimbulkan dampak korban luka dan rumah rusak.
Gempa dirasakan sedang selama sekitar 3 detik pada 28 Februari 2019 pukul 06.27 WIB. Pascagempa bumi yang mengguncang wilayah Solok Selatan menyebabkan 48 jiwa luka-luka dan 343 unit rumah rusak. Hingga kini, pemerintah daerah, TNI, Polri dan mitra kerja setempat masih terus melakukan upaya penanganan darurat.