REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tsunami merupakan salah satu bencana yang menjadi momok bagi masyarakat Indonesia. Dengan letak geografis yang dikelilingi patahan gempa dan terdiri dari wilayah kepulauan, sebagian besar daerah di Indonesia berpotensi terkena terjangan tsunami, tak terkecuali Jakarta.
Meski begitu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai, potensi tsunami menerjang daratan Jakarta sangat kecil.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, jika terjadi, gelombang tsunami yang mencapai Jakarta diperkirakan hanya puluhan centimeter (cm). "Kami membuat pemodelan dari Selat Sunda semua. Dengan magnitudo 8,7 saja, tidak begitu signifikan untuk wilayah Jakarta," kata dia di Jakarta, Kamis (27/2).
Ia mengatakan, berdasarkan data sejarah, sumber tsunami wilayah Jakarta jika terjadi gempa di Selat Sunda. Karena itu, BMKG membuat pemodelan berdasarkan tingkatan gempa di Selat Sunda, mulai dari magnitudo 7,0 hingga 8,7. Pemodelan itu juga didasarkan kedalaman dan lokasi gempa.
Ia menegaskan, berdasarkan catatan sejarah, gempa terkuat di Selat Sunda memiliki magnitudo 8,7 SR. Jika gempa itu terjadi, tak akan berdampak tsunami di Jakarta.
"Mungkin hanya puluhan senti sampai ke lautan Jakarta, tidak masuk ke daratan. Satu meter saja tidak masuk ke daratan," kata dia.
Namun, ia mengingatkan, jika kejadian tsunami berbarengan dengan adanya gelombang tinggi, bukan tak mungkin tsunami masuk ke wilayah darat Jakarta.
Rahmat mencontohkan, ketinggian tsunami yang tercatat BMKG di pesisir Banten hanya sekitar 90 cm. Namun, ada prediksi gelombang tinggi antara 1,5-2,5 meter.
Pada waktu dan lokasi yang sama, tsunami dengan tinggi 90 cm bercampur dengan gelombang tinggi sekitar 2 meter maka hasilnya gelombang menjadi lebih tinggi.
"Semua kemungkinan memang bisa terjadi. Tapi kalau tsunaminya tak berdampak artinya hanya gelombang tingginya saja," kata dia.
Menurut dia, hingga saat ini memang baru Selat Sunda yang menjadi sumber tsumani di Jakarta. Namun, ia mengakui, beberapa pakar kegempaan mengindikasikan ada sumber gempa lain di Laut Cina Selatan. Artinya, jika terjadi gempa besar di Laut Cina Selatan, bukan tidak mungkin akan ada tsunami yang sampai ke Jakarta.
"Itu dari sejarah kita belum punya. Kalau itu terjadi kan, kemungkinan bisa tsunami. Antara Kalimantan dan Sumatra terbuka lautnya masuk ke Jakarta, meski lokasinya agak jauh," kata dia.
Meski baru indikasi, Rahmat mengatakan, pemerintah Indonesia akan melakukan perundingan dengan negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan untuk melakukan pengawalan aktiviras kegempaan. Pasalnya, belum ada lembaga yang bertanggung jawab terhadap kegempaan yang terjadi di lautan itu.
Menurut dia, selama ini Indonesia hanya mengawal aktivitas kegempaan yang berada di wilayah sendiri dan Samudera Hindia. Sementara Samudera Pasifik dikawal oleh Amerika Serikat dan Samudera Atllantik ada lembaga lainnya yang mengawal.
"Nah Laut Cina Selatan belum dikawal lembaga mana pun juga. Ini akan dibentuk pengawasannya. Kita akan diskusikan itu di Jakarta pada 4 Maret. Kita akan undang semua negara berkepentingan," kata dia.
Tetap waspada
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto mengatakan, kemungkinan terjadi tsunami di Jakarta memang relatif kecil. Namun bukan berarti bebas sama sekali.
Ia mencontohkan, seperti tsunami yang terjadi di Selat Sunda, ketingiannya tak seberapa. Namun, banyaknya rumah di tepi pantai membuat banyak korban yang jatuh. "Ketika melewati celah bangunan, air mengumpul dan menjadi lebih tinggi. Itu yang berbahaya. Kecepatan gelombang juga bisa membuat kita jatuh. Kalau kita jatuh, gak ada pegangan, bahaya," kata dia.
Alih-alih terlalu khawatir tsunami, ia mengatakan, dampak gempa bumi justru akan lebih besar jika terjadi di Jakarta. Pasalnya, kontur tanah di Jakarta merupakan tanah lunak, seperti yang ada di Yogyakarta.
Ia mencontohkan, ketika Yogyakarta diguncang gempa bumi pada 2009, banyak rumah ambruk dan korban berjatuhan. Padahal, gempa yang terjadi relatif kecil jika diukur secara magnitudo.
Ia menjelaskan, struktur tanah lunak di Yogyakarta seperti diapit dengan batu gamping. Ketika terjadi gempa, gelombang itu merambat di tanah yang lunak ini terpusat di lokasi itu.
"Jadi seperti bubur yang digoncang ketika mangkuk kita letakkan mangkuknya sudah diam buburnya seperti itu. Amplifikasinya seperti lebih kuat meskipun gempanya tidak terlalu besar. Buktinya, kejadian itu menybabkan 100 ribu rumah roboh dan 6.000 lebih meninggal," kata dia.