REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 132 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik telah digugat ke Mahkamah Agung (MA) oleh sejumlah pihak. Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengaku siap menghadapi gugatan tersebut.
"Setiap warga negara memiliki hak untuk melakukan langkah hukum, tidak ada halangan. Cara seperti ini cara yang beradab. Kami hargai, kami hormati, dan nanti kami berdebat di depan hakim. Itulah cara yang beradab," kata Anies di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Rabu (27/2).
Ia mengatakan, dalam setiap kebijakan pemerintah, tentunya akan ada pihak-pihak yang tidak menyetujuinya. Menurut Anies, mengajukan gugatan merupakan tindakan yang lebih beradab dibandingkan hanya berdemonstrasi.
Anies yakin Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan memenangkan gugatan di MA. Kemudian, kata dia, pergub yang diterbitkan pada 2018 itu pun akan lebih memiliki kekuatan hukum.
"Insya Allah kami yakin menang, jadi, tetapi langkah itu dilakukan sah-sah saja, boleh, enggak ada larangan," kata Anies.
Sebelumnya, Anies menyebut, Pergub Nomor 132 Tahun 2018 diterbitkan untuk mengisi kekosongan peraturan yang memuat pengelolaan rumah susun. Ia mengatakan, pergub itu memuat peraturan mendasar mengenai hak dan kewajiban pemilik maupun penghuni rumah susun serta pengelola atau pengurus.
Ia pun meminta semua pihak melaksanakan pergub tersebut secara konsisten. Anies melanjutkan, Pergub 138/2018 menjadi dasar hukum yang digunakan di DKI Jakarta terkait pengelolaan rumah susun.
Selain itu, Anies mengatakan, badan hukum Perhimpunan Penghuni/Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (P3SRS) tak akan diakui apabila pihak pengembang maupun pengelola tidak mematuhi pergub. Pasalnya, hal tersebut harus disahkan gubernur dengan menggunakan prosedur yang ada di pergub itu.
Kepala Bidang Pembinaan dan Peran Serta Masyarakat Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Melly Budiastuti, mengatakan, kendati pergub itu tengah digugat, gugatan tersebut tak mengganggu pelaksanaan pergub itu sendiri dan pihaknya tetap menjalankannya.
"Enggaklah, enggak mengganggu karena belum ada putusan apa pun dari majelis hakim dan MA membatalkan ataupun menunda implementasinya, tidak ada," kata Melly saat dihubungi Republika, Rabu.
Menurut dia, Pemprov DKI dan Gubernur DKI memiliki kewenangan menangani permasalahan yang terjadi di rumah susun. Melly mengatakan, pergub itu hadir untuk mengatur dan menjadi landasan pemilik, penghuni, pengelola, maupun pengurus rumah susun mengenai hak dan kewajibannya dalam pengelolaan dan pembinaan.
Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Yuhana membenarkan adanya gugatan yang dilayangkan terhadap Pergub 132/2018 itu. Ia mengatakan, pergub itu diminta untuk uji materi di MA yang menyangkut proses formal pembentukan dan mengenai materi atau isi yang dianggap bertentangan dengan undang-undang.
"Formalnya itu proses pembentukannya bagaimana, soal materialnya, isinya, bertentangan atau enggak. Aduh, saya lupa penggugatnya tuh namanya," ujar Yayan.
Namun, menurut dia, pergub tentang pengelolaan pembinaan rumah susun tak bertentangan dengan undang-undang. Yayan mengatakan, pihak penggugat pun tak menyebutkan secara detail terkait materi pergub yang dianggap bertentangan dengan undang-undang lain itu.
"Itu secara umum saja, enggak detail dia. Enggak ada melanggar apa, melanggar apa. Umum saja dia. Pasal ini bertentangan dengan yang mana, enggak ada," kata dia.
Pengamat hukum properti, Erwin Kallo, mengatakan, Pergub Nomor 132 Tahun 2018 merupakan turunan dari Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 23/PRT/M/2018 tentang Perhimpunan Penghuni/Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (P3SRS). Menurut dia, kedua peraturan itu keliru dan memang bisa digugat.
"Memang pergub itu turunannya dari permen. Permennya saja sudah keliru, ya pergubnya juga keliru, memang harus digugat," ujar Erwin.
Menurut dia, kedua peraturan itu hanya cocok berlaku untuk rumah susun sederhana milik (rusunami). Pasalnya, rusunami merupakan rumah susun yang disubsidi pemerintah. Pembeliannya pun diatur dan dibatasi bagi pembeli maupun jumlahnya. Selain itu, Erwin menambahkan, ukuran setiap unit rusunami pun sama.
Sementara itu, Erwin mengatakan, pergub itu juga mengatur rumah susun komersial, termasuk apartemen. Pada apartemen, setiap unitnya memiliki ukuran dan tipe yang berbeda. Selain itu, pembeli juga diperbolehkan membeli lebih dari satu unit.
Erwin melanjutkan, ada beberapa poin besar yang ia pertanyakan, di antaranya mengenai sistem pemilihan dan pembentukan P3SRS. Ia memaparkan, dalam pergub disebutkan bahwa sistem pemilihan satu orang satu suara. Menurut dia, hal itu tidak adil karena beberapa orang memiliki beberapa unit rumah susun komersial.
"Rusunami kan tidak boleh dari satu dan kedua, ukurannya sama, juga disubsidi. Kalau apartemen memiliki 10 unit bagaimana?" kata dia.
Selain itu, Erwin melanjutkan, pergub itu juga dikeluarkan sebelum adanya peraturan daerah (perda). Menurut dia, dalam permasalahan yang terjadi di rumah susun, pemprov tak tegas menanganinya. Untuk itu, bukan hanya melalui pergub, seharusnya Pemprov DKI juga besikap tegas menindak masalah-masalah di rumah susun.
Ia mencontohkan, adanya P3SRS lebih dari satu di setiap rumah susun merupakan salah satu permasalahan yang tidak ditindak tegas oleh pemprov. Padahal, kata Erwin, sudah ada aturan jelas mengenai proses pemilihan dan pembentukan P3SRS. Menurut dia, pemprov hanya tinggal memutuskan P3SRS yang sah.
"Enggak ada itu istilah dualisme P3SRS. Kalau ada sejumlah orang yang mengaku-aku ya pemerintah kan harusnya memutuskan mana yang sesuai aturan. Ketegasan dari pemerintah daerah," kata Erwin.