Selasa 26 Feb 2019 22:45 WIB

DPR Bakal Bahas RUU Kekerasan Seksual Usai Pemilu

Pembahasan RUU PKS kemungkinan akan dilakukan pada bulam Mei mendatang.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bayu Hermawan
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan, DPR berencana akan membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) setelah pemilu. Alasannya masih ada prolegnas prioritas yaitu RUU Praktik Pekerjaan Sosial yang telah lebih masuk ke Komisi VIII sejak 2014.

"Jadi pembahasan (RUU PKS) memang ada kemungkinan besar akan dilakukan di bulan Mei, setelah pilpres dan pileg," kata wanita yang akrab disapa Sara itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/2).

Sara menjelaskan progres RUU tersebut saat ini belum dibahas di DPR. Justru ia heran RUU tersebut mendapat penolakan dari berbagai kelompok.

"Jadi kalau misalkan dikatakan bahwa sudah dekat ke pengesahan ya nggak juga sebab secara pembahasan belum dilakukan,  jadi ini yang harus kita jelas ter lebih dahulu, sehingga semua masukan dari masyarakat masih sangat bisa diterima dan ditampung melalui fraksi-fraksi," jelas politikus Partai Gerindra itu.

Sementara itu Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Imam Nahei juga menyayangkan adanya penolakan dari beberapa kelompok terkait adanya RUU tersebut. Ia juga menyebut beberapa hal yang menjadi perdebatan, salah satunya ialah penggunaan istilah "kekerasan" yang dipakai di judul RUU tersebut ketimbang istilah "kejahatan".

"Karena kalau kejahatan itu selalu ada pelaku dan selalu ada korban yang kemudian pelaku ini selalu dihukum,  ada pidananya , sementara adalam RUU penghapusan kekerasan ini pelakunya tidak harus dihukum tetapi bisa direhabilitasi," ujarnya.

Selain itu, perdebatan selanjutnya yaitu lantaran RUU itu dianggap kebarat-baratan karena menggunakan feminist legal theory. Padahal, imbuhnya, teori tersebut tujuannya  hanya untuk melihat dalam konteks apa sesungguhnya sebuah hukum itu dicanangkan. "Lalu dampaknya apa terhadap perempuan secara spesifik, jadi sesungguhnya feminist legal theory itu untuk  melihat relasi laki-laki dan perempuan dalam konteks hukum," ucapnya.

Perdebatan lainnya yaitu RUU tersebut seakan-akan dilepaskan dari nilai-nilai agama. Sebab terlalu mengunggulkan hak individu atau HAM.  "Contoh kecilnya adalah bahwa di dalam RUU itu dalam naskah akademiknya bahwa perempuan itu punya hak atas tubuhnya sendiri,  seakan-akan ketika perempuan punya hak atas tubuhnya sendiri, termasuk laki-laki juga punya hak atas tubuhnya sendiri, sekan-akan  Tuhan tak punya akses apapun untuk mengatur tubuh seseorang itu,  ada pandangan seperti itu," ungkap Imam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement