Selasa 26 Feb 2019 14:48 WIB

Dampak Sosial Pembagian Sertifikat Lahan

Di debat presiden kedua, isu kepemilikan tanah mengeruak dan menjadi buah bibir

Warga menunjukan sertifikat tanah yang dibagikan pemerintah di Pendopo Bupati Pandeglang, di Pandeglang, Banten, Rabu (23/1/2019).
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Warga menunjukan sertifikat tanah yang dibagikan pemerintah di Pendopo Bupati Pandeglang, di Pandeglang, Banten, Rabu (23/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Sugema

Dalam debat kedua pada pekan yang lalu, calon presiden Joko Widodo menampilkan dua cerita sukses dalam reformasi agraria, yakni pembagian hak pengusahaan lahan dalam bentuk konsesi kecil-kecil di hutan milik negara dan bagi-bagi sertifikat tanah di atas 7 juta bidang tanah milik rakyat.

Sayangnya, calon presiden Prabowo Subianto memilih untuk mengkritisi kebijakan Jokowi yang pertama. Dan sebagai akibatnya, ia membuka peluang serangan balik terhadap dirinya.

Publik pun menjadi heran, kok bisa seseorang yang menguasai lahan seluas lima kali Jakarta tidak setuju dengan distribusi penguasaan aset yang lebih berkeadilan. Empati terhadap rakyat kecil seakan sirna seketika. Seakan Prabowo hanya setuju dengan pembagian lahan dalam skala besar seperti yang dia nikmati.

Publik pun ingar-bingar dengan debat kepemilikan lahan Prabowo, keluarga Cendana, dan beberapa orang terdekat Jokowi. Pembagian 7 juta bidang sertifikat tanah hampir tidak mendapatkan perhatian. Padahal, kebijakan ini lebih nendang di mata rakyat biasa. Mengapa?

Pertama, program ini lebih masif dalam jumlah penerimanya. Jadi, isu ini jauh lebih populis. Rakyat yang memiliki ratusan atau ribuan meter persegi memperoleh kejelasan tentang hak kepemilikan tanah yang dia kuasai puluhan tahun. Bukan karena tidak mau mengurus sertifikat, tetapi prosesnya tidak transparan, lama, dan mahal. Sebelumnya, mereka berada dalam situasi di mana mendapatkan sertifikat hanyalah sebuah impian kosong.

Kedua, kita sekarang menjadi yakin bahwa reformasi tata kelola birokrasi dapat dilakukan dengan cepat. Kementerian ATR/BPN seakan menjadi contoh terdepan. Padahal, dulunya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) lebih terkenal dengan pelayanan yang lamban, tidak transparan, dan mahal. Bahkan, birokratnya sering diisukan bekerja sama dengan mafia tanah.

Itu dulu. Sekarang, rakyat biasa secara sendiri-sendiri ataupun kolektif mulai berani datang ngurus sertifikat tanah. Ini adalah turn-around yang sangat signifikan.

Pertanyaannya adalah apakah reformasi tata kelola seperti yang terjadi di BPN akan dapat dipertahankan dan malah terus diperbaiki. Tentu saja mengubah kultur birokrasi bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan dalam sekejap. Hanya waktu saja yang dapat menjawabnya. Semoga reformasi tata kelola ini akan permanen.

Dengan jelasnya kepemilikan lahan, pemerintah pusat dan daerah dapat lebih akurat dalam membangun sistem informasi penguasaan lahan dan rencana umum tata ruang. Kebijakan pengaturan penggunaan lahan dapat didesain secara lebih terencana. Publik juga menjadi lebih paham tentang kewajiban dan haknya atas lahan.

Ketiga, peta lahan yang jelas selanjutnya akan mengurangi potensi konflik akibat tumpang tindihnya penguasaan lahan. Konflik masih akan terjadi. Namun, potensinya untuk terjadi di lahan yang sudah bersertifikat menjadi sangat rendah sekali. Rakyat, terutama yang mendapatkan pembagian sertifikat, dapat hidup tenang dan nyaman di atas tanahnya. Kalaupun mereka ingin tetap bertani, mereka bisa bertani dengan leluasa karena tidak diganggu oleh mafia tanah. Kalaupun ingin tinggal di atas tanahnya, mereka mendapatkan kepastian bahwa rumah dan tanahnya dapat diwariskan kepada anak cucu.

Keempat, selalu ada kecenderungan bahwa lahan yang bersertifikat hak milik lebih mahal daripada dengan tanah yang tidak jelas surat- suratnya. Ada windfall profit yang didapatkan dari sertifikat gratis dari pemerintah.

Tentu kita tidak menginginkan agar lahan sempit milik rakyat kemudian dijual kepada tuan tanah karena tergiur dengan harganya yang sekarang naik. Tetapi, bagi rakyat, tanah itu ibarat tabungan hidup. Karena tabungan itu menjadi lebih jelas kepemilikannya, rakyat dapat merencanakan apa pun atas hak milik pribadinya.

Kelima, sertifikat lahan dapat mencegah terjadinya pemecahan lahan ke dalam unit-unit kecil. Sudah menjadi kebiasaan di perdesaan untuk menjual tanah 100 atau 200 meter untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak.

Setiap ada kebutuhan mendesak untuk menyekolahkan anak, mengawinkan anak, atau untuk berobat, mereka terbiasa menggadaikan sebagian tanahnya ke rentenir. Itu terjadi karena tanahnya tidak bersertifikat sehingga tidak bisa diagunkan ke bank atau lembaga keuangan formal lainnya.

Dengan adanya sertifikat, masyarakat dapat menutupi kekurangan cash flow yang mendesak dengan cara mengagunkannya ke bank. Kalau jumlah cicilannya sesuai dengan kemampuan, mereka dapat terbebas dari lilitan utang.

Lembaga keuangan formal biasanya tidak akan memberikan kredit melebihi batas kemampuan nasabah untuk mencicil. Menguasai agunan secara fisik sama sekali tidak menarik untuk bisnis bank. Uangnya berhenti berputar.

Keenam, dan mungkin ini yang sangat penting. Sertifikat dapat meningkatkan kapasitas permodalan pengusaha mikro dan kecil. Dengan bimbingan yang baik, mereka dapat memperoleh modal tambahan dari bank untuk meningkatkan kapasitas produktif mereka. Jadi, pembagian sertifikat tanah secara teoretis dapat menguatkan pengembangan UMKM. Itu teoretis, lho. Kenyataannya sangat bergantung pada masing masing individu.

Sayangnya, berbagai isu di atas luput dari perhatian kita dalam debat yang kedua. Semoga debat selanjutnya dapat lebih menukik ke isu-isu strategis yang membawa perubahan besar bagi kehidupan rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement