Jumat 22 Feb 2019 16:18 WIB

Upaya Cina Memamerkan Xinjiang

MUI menanyakan kabar kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis Uighur dalam beribadah

Save muslim Uighur.
Foto: republika
Save muslim Uighur.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Wartawan Republika Bayu Hermawan dari Beijing

BEIJING -- Pemerintah Republik Rakyat Cina masih terus berupaya meyakinkan dunia Islam soal versi mereka terkait kondisi Muslim Uighur di Xinjiang. Kabar terkini, mereka mengundang delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU) serta Muhammadiyah untuk mengunjungi Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, RRC, Rabu (20/2).

Kedatangan perwakilan MUI, NU, dan Muham madiyah bertujuan untuk melihat langsung kondisi umat Islam, khususnya etnis Uighur di Urumqi. Rombongan dari Indonesia tiba di Beijing pada Selasa (19/2). Setibanya di Beijing, delegasi berjumlah 15 orang yang disertai sejumlah jurnalis, termasuk Republika, itu langsung menuju ke Kedubes RI di Beijing untuk beramah tamah dengan Dubes RI untuk RRC dan Mongolia, Djauhari Oratmangun.

Selepas dari Kedubes RI di Beijing, rombongan kemudian berkunjung ke kantor Asosiasi Islam Cina (CIA) di Beijing. Organisasi keagamaan itu adalah satu-satunya or ganisasi Islam yang resmi diakui Pemerintah RRC. Di kantor CIA, rombongan disambut Ketua Asosiasi Islam Cina Syekh Hasan Yang Faming dan petinggi CIA lainnya, termasuk dari cabang Xinjiang. Rombongan dari Indonesia kemudian berangkat ke Urumqi pada Rabu (20/2) petang.

Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, KH Muhyidin Junaidi, saat bertemu dengan Ketua Asosiasi Islam Cina Provinsi Xinjiang, Abdul Rakib Tumuniyazi, di Beijing, langsung menanyakan mengenai kebenaran berita-berita tentang tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis Uighur dalam beribadah.

"Kami ingin mengetahui sekaligus meminta penjelasan tentang kondisi yang sebenarnya etnis Uighur," ujar Muhidin, Rabu (20/2).

Di antara kabar-kabar yang ingin dikonfirmasi rombongan dari Indonesia, di antaranya soal perlakuan diskriminatif terhadap etnis Muslim Uighur. Mereka juga ingin menanyakan soal persekusi terhadap ulama serta pelarangan dan pembatasan beribadah di Xinjiang. Hal yang juga menjadi tanda tanya umat Islam Indonesia, menurut Muhidin Junaidi, adalah soal penghancuran masjid dan rumah ibadah serta penahanan Muslim di Xinjiang.

Atas pertanyaan-pertanyaan itu, Abdul Rakib mengatakan, pada dasarnya Cina memberikan kebebasan terhadap seluruh warga negaranya dalam beragama dan beribadah. "Warga negara diminta untuk selalu mematuhi hukum dan aturan yang berlaku di negara ini," ujar Abdul Rakib. "Agama apapun tidak boleh mencampuradukkan dengan masalah pemerintah."

Di Cina ada 56 etnis besar, Rakib lalu menjelaskan, dan 10 di antaranya, termasuk Uighur, adalah pemeluk agama Islam. Saat ini, kata dia, lebih dari 10 juta warga negara Cina adalah kaum Muslim. Hal ini menunjukkan Pemerintah Cina sangat menghormati dan menyayangi umat Islam, kata dia kepada rombongan dari Indonesia di Beijing.

Terkait kabar adanya intimidasi dan tidak kekerasan terhadap Muslim Uighur, Abdul Rakib mempersilakan perwakilan MUI, NU, dan Muhammadiyah untuk melihat langsung bagaimana kondisi yang ada.

Ketua Bidang Keagamaan RRC Provinsi Xinjiang Pu Xuemei mengakui, kabar adanya tindak kekerasan terhadap etnis Uighur telah menjadi perhatian dunia, termasuk di Indonesia. "Kami akan memberikan kesempatan kepada delegasi dari Indonesia untuk melihat langsung, mendengar langsung bagaimana kondisi yang sebenarnya," ujarnya.

Ia juga menjanjikan akan mempersilakan delegasi dari Indonesia untuk bertanya tentang apa saja dan meminta penjelasan apa saja tentang kondisi umat Islam Uighur. Pu melanjutkan, pemerintah juga akan memberikan izin delegasi Indonesia ke pusat vokasi yang menjadi perhatian dunia.

Tempat itu yang paling diberitakan negatif oleh media-media. "Di sana disebut-sebut sebagai kamp konsentrasi, saya tidak akan banyak bicara karena seeing is believing, silakan lihat dengan mata kepala sendiri, dengar dengan telinga sendiri, dan sampaikan kebenaran yang ada," katanya.

Kami ingin Anda menyaksikan sendiri kondisi umat Islam di Xinjiang, ucapnya menambahkan. Pu menegaskan, seluruh etnis di Xinjiang hidup secara harmonis tanpa ada yang dibeda-bedakan.

photo
Masjid di Uighur.

Sementara itu, kantor berita Reuters melaporkan pada Kamis (21/2) bahwa RRC tengah meningkatkan upaya meyakinkan dunia soal kamp reedukasi di Xin jiang belakangan. Diplomat-diplomat dan perwakilan dari negara-negara Muslim secara bergelombang diundang mengunjungi Xinjiang dalam kunjungan yang diatur negara.

Sejak Desember lalu, RRC telah mendatangkan tiga grup diplomat asing untuk mengunjungi kamp reedukasi yang disebut berbagai lembaga pegiat HAM internasional sebagai kamp penahanan. Gelombang keempat dijadwalkan berkunjung bulan ini.

Kementerian Luar Negeri RRC mengumumkan bahwa pada Sabtu (16/2) lalu diplomat-diplomat yang berbasis di Jenewa dari Pakistan, Venezuela, Kuba, Mesir, Kamboja, Rusia, Senegal, dan Belarus mengunjungi Xinjiang dalam tur yang berakhir pada Selasa (19/2).

Selanjutnya, menurut diplomat yang dihubungi Reuters, Cina akan mengundang diplomat yang berbasis di negara mereka. Di antaranya dari Arab Saudi, Aljazair, Maroko, Lebanon, Mesir, Singapura, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, Bangladesh, Rusia, Turkmenistan, Georgia, Hungaria, dan Yunani. Kunjungan itu dijadwalkan pekan depan.

Saat dikontak Reuters, sumber di Kementerian Luar Negeri Lebanon mengatakan mereka tak akan ikut serta. Sementara, diplomat Georgia mengamini adanya undangan, tetapi juga tak bisa hadir.

Kementerian Luar Negeri Cina mengiyakan telah mengirimkan undangan dan menjadwalkan kunjungan. Kami meyakini kunjungan ini akan meningkatkan pengertian dan pengetahuan soal Xinjiang. Meyakinkan soal keterbukaan di Xinjiang yang harus dilihat secara objektif melalui kesuksesan pembangunan di sana, tulis keterangan dari Kemenlu RRC.

Sementara itu, sejumlah diplomat menuturkan pada Reuters bahwa Cina saat ini tengah mengkhawatirkan reaksi negara-negara mayoritas Muslim soal laporan berbagai lembaga HAM dunia terkait kondisi di Xinjiang. Sejauh ini, kebanyakan negara-negara mayoritas Muslim menahan komentar atas tudingan pelanggaran HAM di Xinjiang. Kendati demikian, Turki melancarkan kecamannya pada Februari lalu.

Turki meminta RRC menutup kamp-kamp reedukasi di Zinjiang yang disebut berisi ratusan ribu hingga sejuta Muslim Uighur yang ditahan tanpa proses pengadilan hanya karena tindakan-tindakan yang dinilai negara memiliki tendensi radikalisme. Kamp-kamp itu adalah aib bagi kemanusiaan, bunyi pernyataan resmi dari Ankara. Cina disebut tak ingin negara-negara Muslim lain melancarkan kecaman serupa.

RRC juga berencana mencegah munculnya pertanyaan soal Xinjiang dalam dua gelaran internasional mendatang. Di antaranya, rapat Dewan HAM PBB yang akan dimulai pada Senin (25/2) pekan depan dan KTT Belt and Road di Beijing yang akan dihadiri sejumlah pimpinan negara mayoritas Muslim.

photo
Massa yang tergabung dalam Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Lampung menggelar aksi solidaritas selamatkan muslim Uighur di Tugu Adipura Bandar Lampung, Lampung, Jumat (21/12/2018).

Ironisnya, kunjungan-kunjungan diplomat yang diatur RRC justru tak menyertakan negara-negara yang paling keras menuding soal pelanggaran HAM di Xinjiang, seperti Amerika Serikat, Swiss, Inggris, dan Australia. Negara-negara itu kembali melancarkan kecaman atas dugaan persekusi terhadap Muslim Uighur dalam Peninjauan Periodik Menyeluruh di Dewan HAM PBB, Januari lalu.

Puluhan duta besar dari negara-negara Barat tahun lalu sempat menuliskan surat resmi meminta pertemuan dengan Chen Quanguo, petinggi Partai Komunis Cina yang berwenang atas wilayah Xinjiang. Kendati demikian, permintaan yang dimaksudkan sebagai upaya menyampaikan kekhawatiran terkait kondisi Muslim Uighur di Xinjiang itu tak dipenuhi oleh Beijing. (reuters ed: fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement