REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait titik panas atau hotspot di Indonesia menunjukkan ada 83 titik. Dari jumlah tersebut, 40 titik di antarnya masuk ke kategori tinggi dan 34 titik di antaranya berada di Provinsi Riau.
"Hasil pemantauan 24 jam terakhir dari satelit Aqua, Terra, SNNP pada catalog modis LAPAN tanggal 22 Februari 2019 pukul 07:00 WIB dengan kategori sedang, yakni 30-79 persen, dan tinggi, lebih dari 80 persen," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, saat dikonfirmasi melalui aplikasi pesan singkat, Jumat (22/2).
Sutopo menjelaskan, dari total 83 titik panas itu, 40 di antaranya masuk ke kategori tinggi. Titik panas dengan kategori tertinggi terbanyak ada di Provinsi Riau, yakni 34 titik. Kemudian enam sisanya terdiri dari, yakni Kalimantan Timur, Aceh, Maluku Utara, Sulawesi Selatan masing-masing satu titik, dan Kalimantan Selatan ada dua titik.
"Total kategori sedang ada 43 titik dan terbanyak ada di Riau dengan 23 titik, Kepulauan Riau enam titik, Gorontalo tiga titik," katanya.
Ia menambahkan 11 titik panas kategori sedang lainnya tersebar di Sumatera Selatan dua titik, Sulawesi Tengah dua titik, Maluku satu titik, Kalimantan Barat satu titik, Jambi satu titik, Yogyakarta satu titik, Kalimantan Timur satu titik, Jawa Barat satu titik, dan Nusa Tenggara Barat satu titik.
Di samping itu, berdasarkan data dari Badan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pagi ini, jumlah hotspot di wilayah Provinsi Riau berkurang. Meski begitu, BMKG tetap meminta pemerintah daerah dan pihak terkait untuk waspada terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pada keterangan pers yang diberikan BMKG kemarin, terdapat 80 hotspot yang ada di Provinsi Riau. Data terbaru pagi ini, pukul 07.00 WIB, hotspot tersebut berkurang menjadi 54 titik. Wilayah yang terbanyak terdapat hotspot di Riau ada di Bengkalis, yakni 28 titik.
"Bengkalis 28, Meranti tiga, Dumai enam, Pelalawan tiga, Rokan Hilir empat, Siak satu, Indragiri Hilir sembilan," ujar Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BMKG, Akhmad Taufan Maulana, saat dikonfirmasi melalui aplikasi pesan singkat, Jumat (22/2).
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal, menjelaskan, selama sepuluh hari kedua pada bulan Februari 2019, wilayah subsiden atau kering mendominasi wilayah Indonesia hingga sepuluh hari terakhir di bulan Februari 2019. Hal ini ditengarai sebagai MJO (Madden Julian Oscillation/massa udara basah) fase kering. Kondisi tersebut akan menyebabkan proses penguapan dan pembentukan awan hujan terhambat.
"Kondisi kurang hujan di wilayah-wilayah tersebut didukung oleh kondisi troposfer bagian tengah yang didominasi kelembaban udara yang relative rendah. Ini sesuai dengan peta prediksi spasial anomali radiasi balik matahari gelombang panjang (OLR)," kata dia dalam keterangan persnya, Kamis (21/2).