Senin 18 Feb 2019 13:27 WIB

Kajian DR Rizal Ramli Pascadebat Capres 2

Rizal Ramli tetap mempertanyakan arah kebijakan kenegaraan apakah akan berubah?

Siluet Wakil Presiden Jusuf Kalla menyaksikan siaran langsung Debat Kedua Pilpres 2019 di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta, Ahad (17/2/2019).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Siluet Wakil Presiden Jusuf Kalla menyaksikan siaran langsung Debat Kedua Pilpres 2019 di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta, Ahad (17/2/2019).

REPUBLIKa.CO.ID -- Selepas menyaksikan langsung debat Presiden kedua yang di gelar semalam di Hotel Sultan Jakarta, keesokan harinya, Senin (18/2) pengamat ekonomi DR Rizal Ramli mengeluarkan kajian sebagai berikut:

Secara umum Jokowi sibuk mempertahankan dan mengampanyekan hal-hal yang telah dikerjakannya. Hanya saja, selama 4 tahun terakhir janji kampanye tentang kedaulatan pangan semakin jauh dari jangkauan. Semakin sulit untuk tercapai. Dengan kinerja seperti itu, nyaris tidak mungkin mencapai cita-cita kedaulatan pangan.

Apalagi fokus terbesar hanya soal stabilitas harga. Artinya: kebijakan impor akan tetap menjadi strategi penting dari pemerintahan Jokowi yang akan datang. Tidak ada pergeseran strategi yang penting, kecuali mengulang praktek-praktek lama yang gagal. Apalagi kebijakan impor yang jor-joran tersebut ditunggangi oleh kartel pemburu rente.

Jokowi sama sekali mengabaikan pemburu rente tersebut dalam merusak kedaulatan pangan Indonesia. Prabowo, memang tidak terlalu detail. Tetapi itikad, komitmennya untuk menciptakan kedaulatan pangan menjadi kenyataan sangat tegas dan jelas. Dan yang paling penting, keberpihakannya kepada kepentingan petani pangan, petani kebun, dan nelayan, sangat kuat.

Keberpihakan tersebut merupakan kunci dan arah penting dari arah kebijakan. Kelihatannya Prabowo tidak ingin bekerja untuk petani di Thailand, Vietnam, maupun pedagang garam besar di Australia.

Kita surprise bahwa capres Prabowo menyatakan akan menurunkan tarif listrik yang selama ini sangat memukul daya beli golongan menengah ke bawah, pengguna listrik 450 VA dan 900 VA Mereka termasuk kategori miskin dan nyaris miskin. Sebab, inilah salah satu penyebab merosotnya daya beli golongan menengah ke bawah sejak dua tahun terakhir.

Keinginan Prabowo untuk menurunkan tarif listrik untuk golongan miskin dan nyaris miskin tersebut akan sangat membantu daya beli mereka dalam waktu cepat. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal ini.

Selama ini berbagai kejahatan dan masalah lingkungan hidup tertutup secara institusional akibat penggabungan Kementerian Lingkungan HIdup dengan Kementerian Kehutanan oleh Pemerintah Jokowi. Bukti yang paling kasat mata adalah nilai kerusakan lingkungan PT Freeport sebesar Rp 185 triliun bisa dihapuskan oleh pemerintah. Belum lagi berbagai potensi pelanggaran lingkungan hidup dalam kasus reklamasi, dan pembakaran hutan menjadi kurang transparan. Lebih banyak membawa kepentingan pengusaha besar ketimbang kepentingan generasi yang akan datang.

Usulan Prabowo untuk memisahkan kembali Kementerian Lingkungan Hidup dari Kehutanan merupakan langkah yang sangat strategis. Sehingga monitoring dan enforcement lingkungan hidup semakin berwibawa dan efektif. Sikap Jokowi yang menganggap penggabungan ini sebagai hal yang wajar sangat pantas disesalkan. Karena di negara-negara lain Kementerian Lingkungan Hidup berdiri sendiri, sehingga mereka bisa efektif jika terjadi pelanggaran.

Keinginan Prabowo agar semua tanah dikuasai negara, tidak perlu dibagi kepada rakyat, adalah pandangan yang terlalu progresif. Sementara program Jokowi pembagian sertifikat untuk rakyat yang sudah punya tanah adalah untuk melegalkan status tanah.

Sementara program kehutanan sosial hanya memberikan hak pakai kepada rakyat. Rakyat tidak memiliki hak tanah tersebut. Jadi selama Jokowi berkuasa tidak ada reforma agraria. Padahal reforma agraria adalah redistribusi tanah.

DR Rizal Ramli, 17 Februari 2019

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement