REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Body shaming atau bully, bisa menyerang siapa saja sewaktu-waktu. Termasuk salah satunya aktris senior Nurul Arifin. Dia bahkan mengaku, pernah menjadi korban body shaming atau bully secara verbal mengenai tubuhnya sewaktu menjadi pragawati dan aktris.
Menurut Nurul, masyarakat harus lebih dewasa dan menghindari berbagai aksi body shaming, terutama di media sosial. Sebab, dulu saat dirinya menjadi pragawati sampai jadi aktris, beberapa orang di sekitarnya berkomentar negatif mengenai bentuk tubuhnya.
Bahkan saat itu, terdapat aturan mengenai ukuran tubuh ideal untuk menjadi pragawati. "Pernah sih dibilang hidung saya gede, waktu jadi pragawati dan bintang film. Waktu itu saya cuma bilang, nggak apa-apa hidung gede bawa hoki. Terus berat badan waktu itu 47 kg, ada ukuran ideal untuk jadi model," ujar Nurul yang juga anggota DPR RI dari Fraksi Golkar ini usai mengisi acara talkshow bertajuk "Sharing is Caring", di Ngopi Doeloe Jalan Pelajar Pejuang Kota Bandung, Sabtu (16/2).
Saat itu, kata Nurul, dirinya pun tetap percaya diri dengan bentuk tubuhnya dan pada akhirnya berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki bentuk tubuh unik tersendiri. Ia pun tidak mengindahkan body shaming yang ditujukan kepadanya.
"Saya pede aja sampai pada kesimpulan bahwa sampai semua orang punya ciri khas masing-masing, Nurul Arifin cuma satu, tidak ada yang keduanya," katanya.
Nurul mengatakan di zaman digital ini beberapa kali contoh kasus body shaming terjadi dan dapat ditempuh melalui jalur hukum melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pelabelan ini, kata dia, lebih populer dengan maraknya medsos. Bukan hanya bully orang lain, tapi ada dampaknya terhadap diri sendiri. "Contoh jadinya ingin ada perombakan di tubuh, dan ada nilai-nilai ideal yang dikontruksikan pasar," katanya.
Dalam suasana politik, kata dia, body shaming terjadi menyerang calon presiden atau wakil presiden. Padahal, yang penting dari seorang calon pemimpin adalah kapasitasnya, bukan konstruksi tubuh yang dinginkan pasar berdasarkan teori ideal.
Body shaming, kata dia, dikategorikan menjadi dua tindakan. Tindakan pertama saat seseorang mentransmisikan narasi berupa hinaan, ejekan terhadap bentuk, wajah, warna kulit, postur seseorang menggunakan media sosial. Hal ini bisa dikategorikan masuk UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3, dapat diancam hukuman pidana 6 tahun.
Tindakan kedua, kata dia, apabila melakukan body shaming tersebut secara verbal, langsung ditujukan kepada seseorang, dikenakan Pasal 310 KUHP dengan ancaman hukumannya 9 bulan. Kemudian body shaming yang langsung ditujukan kepada korban, dilakukan secara tertulis dalam bentuk narasi, melalui transmisi di media sosial, dikenakan Pasal 311 KUHP dengan hukuman 4 tahun.