Jumat 15 Feb 2019 22:03 WIB

Home Schooling Dinilai Bukan Solusi Bagi ADHA

SD Bumi diminta untuk dioperasikan kembali untuk para anak dengan HIV AIDS.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Gita Amanda
Suasana Rumah Singgah atau Shelter ADHA (Anak dengan HIV/AIDS) di kompleks Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bakti, Pucang Sawit, Jebres, Solo, yang dikelola oleh Yayasan Lentera Solo, Jumat (15/2).
Foto: Binti Sholikah/REPUBLIKA
Suasana Rumah Singgah atau Shelter ADHA (Anak dengan HIV/AIDS) di kompleks Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bakti, Pucang Sawit, Jebres, Solo, yang dikelola oleh Yayasan Lentera Solo, Jumat (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Yayasan Lentera, Solo, menilai home schooling bukan solusi bagi Anak-anak Dengan HIV/AIDS (ADHA). Yayasan Lentera tetap mengupayakan agar anak-anak pengidap HIV/AIDS bisa menempuh pendidikan di sekolah formal.

Sebelumnya, sebanyak 14 ADHA terpaksa keluar dari sekolahnya karena mengalami penolakan oleh wali murid di sekolah tersebut. Anak-anak tersebut sudah sepekan tidak masuk sekolah. Mereka tinggal di Rumah Singgah ADHA yang berlokasi di kompleks Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bakti, Pucang Sawit, Jebres, Solo, yang dikelola Yayasan Lentera.

Baca Juga

Ketua Yayasan Lentera, Yunus Prasetyo, menyatakan tetap menginginkan agar anak-anak Yayasan Lentera bisa bersekolah di sekolah formal. Menurutnya, opsi home schooling yang ditawarkan Pemkot Solo bukan solusi. Dia mempertanyakan banyaknya sekolah dasar (SD) di Solo tidak mungkin semuanya tidak mau menerima.

"Kalau home schooling, sudah kami lakukan dulu. Kan hanya sekadar nyari guru ke sini. Tapi kebutuhan anak bukan hanya itu. Dia butuh sosialisasi, bermain, melihat dunia luar. Itu sebetulnya yang harus kita perhatikan. Bukan hanya sekadar bisa baca tulis. Makanya dulu kami sekolahkan merela ke SD negeri," papar Yunus saat ditemui wartawan di Yayasan Lentera, Jumat (15/2).

Yunus menawarkan solusi agar SD Bumi dioperasikan kembali dan anak-anak pengidap HIV/AIDS tersebut dikembalikan ke SD Bumi.

Sebelumnya, 14 anak tersebut bersekolah di SD Bumi, Kecamatan Laweyan. Dengan adanya kebijakan regrouping, siswa-siswa SD Bumi bergabung ke SDN Purwotomo. Kemudian, wali murid SDN Purwotomo menolak 14 anak tersebut bersekolah di SDN Purwotomo.

Menurutnya, akar permasalahan penolakan tersebut karena kebijakan pemerintah terkait penggabungan sekolah atau regrouping. Dia juga menyebut banyak wali murid SD Bumi yang tidak setuju adanya regrouping.

"Kembalikan SD Bumi, tidak ada masalah meski jaraknya jauh. Dari beberapa tahun tidak ada masalah mengantar anak-anak," imbuhnya.

Terkait opsi beberapa sekolah yang disiapkan Pemkot, Yunus menilai tidak ada masalah. Meskipun nantinya pengelola Yayasan Lentera akan kesulitan untuk mengantar dan menjemput anak-anak di beberapa lokasi.

Dia juga memahami dibutuhkan proses untuk mencarikan sekolah yang mau menerima anak-anak pengidap HIV/AIDS. Namun, selama proses tersebut, anak-anak tidak bisa dibiarkan.

"Selama proses berjalan ini anak-anak mau diapakan. Ini sudah mau ujian tengah semester (UTS), anak-anak mau UTS di mana. Tolong dipikirkan kemarin yang buat regrouping," kata Yunus.

Pengelola Yayasan Lentera, Puger Mulyono, menambahkan, 14 anak tersebut sudah sepekan tidak bersekolah. Mereka hanya belajar sewajarnya di Yayasan Lentera. "Anak-anak ya tidak apa-apa, memang tidak boleh sekolah. Mereka tahu sudah tidak boleh sekolah," kata Puger.

Puger sempat menyuruh anak-anak tersebut untuk masuk sekolah selama dua hari. Namun, saat anak-anak tersebut masuk ke sekolah, siswa lainnya justru keluar semua. Lama-lama, wali murid jengkel dan akhirnya melakukan demo meminta kepada sekolah agar 14 anak tersebut sementara tidak sekolah.

"Ini bukan yang pertama. Diusir sudah pernah. Bahkan baru mau daftar sudah dikasih tahu tidak boleh. Ditolak sekolah sudah 21 kali sama yang ini sejak 2012. Kalau pindah rumah sudah empat kali," ungkapnya.

Puger menyayangkan predikat Kota Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) namun masyarakatnya tidak bisa diberikan pemahaman mengenai HIV/AIDS. "Program pemerintah tidak ada diskriminasi. Tapi ternyata hanya slogan saja. Waktu dihadapkan kenyataan mereka kalang kabut," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement