REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemecatan 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang terbukti melakukan penganiayaan dan menyebabkan tewasnya taruna junior dinilai sebagai langkah maju karena selama ini penanganan kasus itu tertutup.
"Selama ini penanganan kasus penganiayaan di Akpol cenderung tertutup, dan baru kali ini penanganan kasus di Akpol sangat transparan," ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane di Jakarta, Selasa (12/2).
Neta S Pane menyebut baru kali ini taruna Akpol sebanyak itu dipecat akibat melakukan penyiksaan yang menyebabkan kematian, meski sempat menggantung sejak 2017. Pemecatan itu diambil setelah digelar sidang Dewan Akademik (Wanak) Akpol yang dipimpin Gubernur Akpol Irjen Rycko Amelza Dahniel dan dihadiri Kalemdikpol Arief Sulistyanto.
Kasus penganiayaan yang menyebabkan terbunuhnya Brigadir Dua Taruna M Adam pada Mei 2017 itu, melibatkan 14 taruna Akpol. Sebelumnya pada Juli 2018, seorang taruna telah dipecat melalui sidang Wanak.
Neta mengatakan, dari 13 taruna tersebut, terdapat dua anak jenderal, tujuh anak kombes dan empat anak warga sipil sehingga ia mengapresiasi ketegasan Polri dalam mengambil keputusan itu. Dari pantauan IPW, kata dia, semula keputusan pemecatan terhadap 13 Taruna Akpol itu berjalan alot sehingga sidang Wanak Akpol terpaksa dilakukan selama dua hari. Padahal, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan tetap terhadap kasus itu.
Neta menyebut alotnya keputusan itu karena adanya usulan hanya empat taruna yang dipecat sehingga memunculkan polemik. "Bagaimanapun Akpol adalah lembaga pendidikan dan candra dimuka tempat melahirkan kader kader Polri yang profesional, humanis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM," kata Neta.