Senin 11 Feb 2019 08:53 WIB

Emil Ingatkan Milenial tentang Bahaya Era Digital

Indonesia di masa depan tak harus pintar secara intelektual, tapi juga emosional.

Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan,Era digital tak bisa hanya dilihat potensi besarnya dalam bidang ekonomi. Namun, ada juga sisi gelapnya. Terutama terkait ancaman terhadap keutuhan Indonesia sebagai bangsa dan negara.
Foto: Arie Lukihardianti/Republika
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan,Era digital tak bisa hanya dilihat potensi besarnya dalam bidang ekonomi. Namun, ada juga sisi gelapnya. Terutama terkait ancaman terhadap keutuhan Indonesia sebagai bangsa dan negara.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Era digital tak bisa hanya dilihat potensi besarnya dalam bidang ekonomi. Namun, ada juga sisi gelapnya. Terutama terkait ancaman terhadap keutuhan Indonesia sebagai bangsa dan negara. 

“Karena tak bsa menjaga persatuan, banyak negara yang hancur karena pertengkaran dan perang. Saya Nitip ke generasi milenial, harga yang paling mahal bangsa kita itu persatuan. Jangan sampai kayak Suriah," ujar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil di hadapan ratusan milenial dalam orasi pekerja kreatif yang diadakan oleh Asumsi.co di Gedung Sabuga, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Sabtu malam (9/2). 

Emil meminta, dalam menjaga persatuan kaum milenial memulainya dari HP. Mereka, harus bisa menyaring Informasi yang masuk. Terutama yang mengarah pada perpecahan. "Ada 5 ribu berita bohong hadir karena memang ada pasarnya," katanya.

Emil mengatakan, kita ini bersatu karena kesamaan nasib. Bukan karena kesamaan bahasa atau suku. Kesamaan nasib itulah yang mengikat kita untuk membuat kesepakatan yang bernama Pancasila. "Inilah yang akan kita jaga bersama sampai kapanpun,” katanya.

Dikatakan Emil, sudah banyak kisah negara-negara besar yang pecah bahkan musnah. Afghanistan, misalnya. Tujuh suku besar di sana tak pernah berhenti bertikai. Begitu juga Yugoslavia yang kini terpecah menjadi Serbia, Bosnia - Herzegovina, dan Kroasia. 

“Di Afghanistan, seminar yang membicarakan industri kreatif seperti ini tak mungkin dilakukan,” katanya. Karena itu, kata dia, keragaman suku, agama, bahasa, dan ras, harus dijaga agar industri kreatif bisa terus tumbuh di Indonesia. 

Selain itu, penguatan SDM dikalangan milenial juga harus dilakukan. Sebab, manusia Indonesia di masa depan tak hanya harus pintar secara intelektual tapi juga emosional. 

“Milenial itu, kelemahannya emosian. Jangan sampai ketika ditilang, motor dirusak sendiri,” katanya. 

Para pembicara dalam acara tersebut, antara lain, Wali Kota Bogor Bima Arya, Wali Kota Purwakarta Dedi Mulyadi, Bupati Banyuwangi, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, Founder Lipstick Be Mad, Samira Alatas, Jenderal Viking Heru Joko, Founder Swara Gembira Khoirun Nazar, Co-Founder Upnormal Sarita Sutedja, Content Creator Eka Gustiwana, CEP IPMI Jimmy Gani, dan CEO IYKRA Jimmy Gani. 

Sementara menurut Co-founder Asumsi.co Iman Sjafei, era digital memang memiliki sisi gelap yang mengancam. Tapi digitalisasi justru sangat berperan dalam memperkuat industri kreatif. Disrupsi digital memangkas rantai ekonomi industri kreatif. Efeknya langsung terasa pada kontribusinya pada pendapatan negara. 

Pada akhir tahun lalu, kata dia, kontribusi industri kreatif dalam pendapatan negara mencapai Rp 1.105 triliun. Tahun ini, nilainya bakal jauh lebih besar. “Tahun ini diperkirakan industri kreatif akan menyumbang Rp 1.200 triliun pada PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia,” kata Iman Sjafei. 

Tak heran, kata dia, kini tak terhitung jumlahnya pengusaha muda yang lahir dari industri kreatif. Era digital membuat mereka lebih bebas memilih profesi dan industri kreatif menjadi pilihan utama karir mereka. “Anak-anak muda sekarang tidak ingin bekerja. Tapi usaha dan pilihannya adalah industri kreatif,” katanya.

Iman Sjafei mengatakan, industri kreatif memang didominasi anak muda. Sebanyak 80 persen pelaku industri kreatif termasuk generasi milenial. Saat ini pun, studi dan usaha tidak selalu linier. 

"Apakah mereka yang belajar ilmu ekonomi harus bekerja di bank? Tidak. Justru dengan membuka usaha impact yang mereka hasilkan jauh lebih besar,” katanya. N Arie Lukihardianti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement