Senin 11 Feb 2019 05:47 WIB

Kamp Uighur dan Turki yang Makin Tegas ke Cina

Presiden Erdogan pernah menuding Cina melakukan genosida terhadap etnis Uighur.

Rep: Lintar Satria/ Red: Elba Damhuri
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: Presidential Press Service via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID,  Persoalan kamp Muslim Uighur di Xinjiang masih belum menemukan titik terang untuk diselesaikan. Banyak negara mengecam kebijakan Pemerintah Cina terkait dengan kamp Uighur yang dilandasi alasan 'perang terhadap kaum radikal Islam' di Xinjiang.

Seperti Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa lainnya, Turki pun menuntut Cina menghargai hak asasi masyarakat (HAM) etnis minoritas Uighur yang tinggal di Provinsi Xinjiang. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy meminta Cina menutup kamp pengasingan tempat jutaan warga Uighur ditahan.

"Kami meminta masyarakat internasional dan Sekretaris Jenderal PBB mengambil langkah efektif demi mengakhiri tragedi kemanusiaan di Xinjiang," kata Aksoy dalam pernyataannya di situs resmi Kementerian Luar Negeri Turki, seperti dilansir di Sputnik, Ahad (10/2).

Pekan lalu, para aktivis HAM mendesak negara-negara Eropa dan Muslim memimpin penyelidikan PBB atas indoktrinasi paksa dan penahanan etnis Uighur di Xinjiang. "Kebijakan pihak berwenang Cina terhadap Uighur memalukan bagi rasa kemanusiaan," ujar Aksoy seperti dikutip dari Aljazirah, Sabtu (9/2).

Menurut dia, bukan rahasia lagi orang-orang Uighur menjadi korban penangkapan semena-semena. "Orang Uighur menjadi sasaran penyiksaan dan pencucian otak politik di kamp-kamp," kata dia.

Tanggapan Turki tersebut muncul setelah kabar kematian penyair dan musisi Uighur, Abdurehim Heyit, dalam tahanan. Beijing lantas menghadapi tekanan internasional terhadap program yang mereka klaim sebagai deradikalisasi ini.

Ankara meminta komunitas internasional dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres segera mengambil tindakan. Menurut PBB, sekitar satu juta warga minoritas Muslim Uighur ditahan di kamp.

Uighur sudah mencoba merdeka dari Cina sejak 1930-an sampai 1940-an. Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Cina memperkenalkan langkah-langkah lebih ketat lagi di wilayah tersebut. Pemerintah Cina menjustifikasi tindakan mereka sebagai perlawanan terhadap ekstremisme.

Dalam beberapa kesempatan, Beijing membantah adanya kamp reedukasi tersebut. Mereka menegaskan, Cina tetap mematuhi konvensi internasional dalam mengeliminasi segala bentuk diskriminasi rasial.

Pada 14 Januari 2019, Pemerintah Xinjiang mengklaim telah membebaskan 537 ribu orang dari kemiskinan. Kantor berita Xinhua melaporkan 513 desa dari tiga wilayah di Xinjiang berhasil terlepas kemiskinan.

Angka kemiskinan di wilayah itu disebut-sebut turun dari 11,57 persen pada 2017 menjadi 6,51 pada 2018. Lewat berita tersebut Cina seolah ingin menunjukkan program pendidikan dan pelatihan kejuruan yang mereka terapkan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Uighur.

Namun, Cina gagal menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi di Xinjiang. Upaya mereka membantah adanya kamp pengasingan berhasil dipatahkan oleh berbagai liputan serta penelitian dari media dan peneliti asing.

Penelitian Adrian Zenz dari European School of Culture and Theology menunjukkan betapa menakutkan dan besarnya jumlah minoritas Uighur yang ditahan dalam kamp pengasingan.

Zenz menelusuri pembicaraan tentang deekstremisasi dan tranformasi melalui pendidikan Xinjiang di media dan jurnal Partai Komunis Cina selama bertahun-tahun. Dia mengidentifikasi ada 78 lelang proyek pembangunan kamp pengasingan Muslim Uighur.

Seorang mahasiswa hukum di University of British Columbia, Shawn Zhang, juga mengumpulkan bukti pembangunan kamp pengasingan tersebut melalui foto satelit dari Google Earth. Bukti kamp pengasingan ini diperkuat penuturan para pengelana yang berhasil masuk ke Xinjiang. Para pengelana independen itu mengatakan, mereka tidak melihat Muslim Uighur yang berusia antara 15 sampai 45 tahun di jalan-jalan.

Seperti dilansir di the Guardian, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pernah menuding Cina melakukan genosida terhadap etnis Uighur. Namun, Turki dan Cina menjadi lebih dekat sejak menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi.

Wilayah Xinjiang adalah rumah bagi sekitar 10 juta warga Uighur. Kelompok Muslim Turki yang mencapai 45 persen dari populasi Xinjiang telah lama menuduh Pemerintah Cina melakukan diskriminasi budaya, agama, dan ekonomi.

Mempraktikkan ajaran Islam dilarang di beberapa bagian Cina. Orang-orang Uighur yang menunaikan shalat, puasa, menumbuhkan janggut, dan mengenakan hijab menghadapi ancaman penangkapan. Tindakan keras Cina tersebut menjadi berita utama di seluruh dunia.

Pada Agustus 2018, panel ahli PBB telah menerima laporan kredibel tentang penahanan lebih dari satu juta warga Uighur berbahasa Turki. Mereka ditempatkan di kamp dan dipaksa meninggalkan Islam.

Beijing membantah tuduhan itu. Pemerintah setempat mengklaim mereka berada di kamp secara sukarela. Sebab, mereka hendak melakukan pelatihan kerja dan menghilangkan kecenderungan ekstremisme.

(reuters , ed: qommarria rostanti)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement