Senin 11 Feb 2019 04:29 WIB

Pilpres, Propaganda Rusia dan 'Rand Corporation'

Tugas pemimpin ke depan harus mencegah negara dari keterbelahan dan perpecahan.

Asal Usul Istilah 'Propaganda Rusia'.
Foto: Republika
Asal Usul Istilah 'Propaganda Rusia'.

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Beberapa hari yang lalu capres petahana Jokowi menyatakan bahwa kubu lawannya atau Prabowo telah menggunakan "Propaganda Rusia" atau "Firehose of Falsehood" dalam (kampanye) perpolitikan kita. Dihadapan para alumni ITS dan Jatim yang memberi gelar Jokowi "Cak Jancuk", dia meminta agar propaganda Rusia ini dilawan, karena tidak beradab.

Adanya penggunaan istilah propaganda Rusia ini menjadi masalah besar dan debat panas di media sosial dan publik. Pertanyaanya adalah dalam kapasitas apa Jokowi menyatakan hal tersebut? apakah sebagai Presiden Republik Indonesia atau sebatas calon presiden (Capres)? Sebab, konsekwensinya akan berbeda besar. Sedangkan kapan Jokowi bertukar peran sebagai Presiden versus dia sebagai calon presiden hanya tuhan saja yang tahu.

Benar saja, Kedutaan Besar Rusia langsung merespons pernyataan Jokowi tersebut dengan menyatakan bahwa istilah 'Propaganda Rusia' itu sebuah istilah yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun Jokowi dan timnya sudah mengklarifikasi penggunaan istilah itu hanya sebagai diksi atau pilihan istilah saja, namun soal ini tidak sederhana. Sebab, istilah ini dikeluarkan oleh lembaga kajian (think tank) terbesar Amerika, yang sarat dengan politik Amerika dan dunia, yakni Rand Corporation.

Rand Corp dalam "The Russian 'Firehose of Falsehood' Propaganda Model' disebut sebagai :' Why It Might Work and Options to Counter It", expert insights oleh Christopher Paul dan Miriam Matthews, 2016. Di sana digambarkan Propaganda Rusia ini adalah sebuah jenis propaganda yang dikembangkan dari propaganda eks komunis Soviet dengan 4 perbedaan, yakni 1) High-volume and multichannel 2) Rapid, continuous, and repetitive 3) Lacks commitment to objective reality 4) Lacks commitment to consistency.

Dalam propaganda model ini maka diproduksi disinformasi, atau informasi sesat, diciptakan dan disebarkan dalam jumlah dan dalam frekuensi yang tinggi, via berbagai saluran media (medsos), secara cepat dan terus menerus serta berulang-ulang. "Pencucian otak" masyarakat ini tujuannya untuk menerima suatu kesadaran yang bukan objektif dimulai dengan menciptakan informasi atau berita. setelah itu lalu diciptakan fakta-fakta  pendukungnya sehingga berita itu mulai diyakini kebenarannya.

Nah, berita dan fakta ini harus disiarkan via beberapa sumber berita sehingga penerima berita lebih yakin lagi. Apabila terjadi penyangkalan atas informasi ini, maka dilakukan lagi pengulang-ulangan sehingga ada "familiarity" untuk selanjutnya menjadi "acceptance". Dalam hal ini Rand Corp meminta agar Propaganda Rusia ini dilawan dan menguraikan cara caranya. Menurut Rand pula, pemerintah Rusia sedikitnya mengeluarkan uang sebanyak $ 300 juta (sekitar Rp 4, 2 Triliun) kepada kantor berita Rusia, RT dan Sputnik dalam menjalankan propaganda tersebut.

Kembali dengan soal pernyataan petahana capres Jokowi soal 'propaganda Rusia', maka pertanyaan kita adalah a) apakah Jokowi mengeluarkan pernyataan tersebut sebagai Presiden RI? b) Apakah Jokowi merujuk Rand Corporation dalam agenda politiknya? c) Apakah benar lawan politik Jokowi mampu menjalankan agenda Propaganda Rusia ini?

Pada pertanyaan pertama itu pasti menyangkut hubungan antara negara kita dengan Rusia. Apabila beliau sebagai Presiden Republik Indonesia meyakini istilah Propaganda Rusia dan Propaganda Rusia ini merujuk pada campur tangan Rusia dalam politik negara lain yang berdaulat. Maka jawaban resmi Duta Besar Rusia via tweeter yang kemudian menyatakan bahwa Rusia tidak pernah mencampuri politik dalam negeri negara lain, dapat dianggap sebagai kekecewaan Rusia pada penggunaan istilah itu oleh seorang Presiden.

Selian itu pernyataan Jokowi soal Propaganda Rusia ini sendiri, dapat juga nantinya mewarnai hubungan kita dengan Amerika. Sebab, Propaganda Rusia ini dikaitkan adanya campur tangan Rusia dalam memenangkan Trump pada 2016 lalu. Anti Trump menyebutnya sebagai "foreign attack on US democracy", dan mereka menuntut adanya investigasi serta perlawanan terhadap Propaganda Rusia. Investigasi itu diejek Trump sebagai "witch hunt" (perburuan penyihir).

Gardiner Harris dalam tulisannya "State Dept. Was Granted $120 Million to Fight Russian Meddling. It Has Spent $0.", nytimes.com, 4/3/2018 mengulas keengganan pemerintah Trump melakukan counter atas Propaganda Rusia itu.

Sedangkan terkait pertanyaan kedua itu adalah menyangkut rujukan Jokowi pada opini yang dibahas Rand Corp. RAND (dari singkatan Research and Development) sebagai lembaga pemikir/an yang berdiri pada tahun 1948, di Santa Monika, USA. Pada awalnya lembaga ini didirikan untuk membantu pemerintah Amerika menghadapi Uni Soviet. Misi RAND menurut Alex Abella dalam "The Soldiers of reason", adalah untuk menciptakan satu dunia satu pemerintahan yang dipimpin Amerika.

Dalam sejarah, RAND mempunyai andil besar dalam membangun "Military industrial complex", dominasi Amerika di Timur Tengah, perang nuklir, perang Amerika dalam isu anti Jihad dan terorisme, anti Rusia dan anti China, dan lain sebagainya. sedangkan RAND dalam katagori politik Amerika selama ini dianggap "bipartisan", tidak memihak antara Demokrat vs. Republik. Namun, menurut Danielle Kurtzleben, dalam artikelnya "Think Tank Employees Tend to Support Democrats", 3/3/2011, U.S.News, menyatakan mayoritas pemikir di RAND memihak Partai Demokrat.

Jadi pernyataan Jokowi sendiri tentang Propaganda Rusia mirip sekali dengan apa yang ditulis RAND Corp tentang pengertian dan langkah-langkah yang harus diambil. Sehingga ada kemungkinan Jokowi mempunyai persinggungan politik dengan RAND Corp tersebut.

Dan terkait politik internasional, posisi Jokowi ini, misalnya menurut Teguh Santoso, pengamat Korea Utara dan pemred Rmol.co, merupakan sebab kenapa petemuan Trump dan Kim Jong Un dua kali dalam setahun ini (di Singapore dan 25-26 Feb 2019 nanti di Vietnam) ada di ASEAN, tapi tidak di Indonesia, meski kita sebagai "bos" Asean.

Soal ketiga adalah mungkinkah tuduhan Propaganda Rusia dilakukan Prabowo? sambil khususnya merujuk "kasus bohong Ratna Sarumpaet"? Jika kita melihat definisi Propaganda Rusia yang dibahas RAND bahwa membutuhkan uang besar, punya media besar yang banyak, punya kontrol atas media sosial, punya kemampuan menggunakan IT lainnya, seperti menggunakan robot dan troll di Medsos, tentu Prabowo jauh dari kemungkinan itu. Sebaliknya, semua kemampuan propaganda dengan uang banyak dan kontrol media dan media sosial, penguasalah yang mampu.

Selain itu, investigasi The Guardian "I felt disgusted': inside Indonesia's fake Twitter account factories", 22 Jul 2018, menunjukkan bahwa produksi "Fakenews" dan Hoax dilakukan konsultan media kobu petahana. Terakhir Facebook sendiri membongkar Abu Janda sebagai seorang Seracen. (Seracen dalam isu Hoax dianggap yang bertanggung jawab selama ini).

Maka, dengan merujuk pada kasus Ratna Sarumpaet dilakukan oleh timses Prabowo, dan ini yang selalu di "repetitive" (diulang-ulang) oleh kibu Jokowi pada setiap kesempatan, tentunya mungkin saja diproduksi kubu Prabowo. Tapi, Ratna sudah mengakui bahwa dia sendiri membohongi Prabowo dan lalu meminta maaf. Motif Ratna sendiri merugikan Prabowo dan kebenarannya hanya akan diketahui di pengadilan untuk membuktikan benarkah kebohongan Ratna atas order (timses) Prabowo?

Tanpa modal bukti putusan pengadilan, belum ada bukti kuat Prabowo dan pendukungnya memproduksi berita palsu (Fakenews atau Hoax). Sedangkan pada berbagai stetmen  Prabowo lainnya, misalnya, seperti kebocoran anggaran, sudah dibenarkan Wakil Presiden benar adanya, meskipun berbeda besaran Jumlah. Banyak statemen Prabowo dan semuanya mempunyai bukti bukan Hoax atau Fakenews.

Selanjutnya harus diingat, keberlangsungan politik beradab bukanlah tanggung jawab utama kaum oposisi. Melainkan tanggung jawab negara, dalam hal ini pemerintah. Untuk itulah Jokowi perlu memperjelas posisi dirinya pada setiap tampil di masyarakat apakah sebagai Capres atau sebagai Presiden. Hal ini penting untuk mengevaluasi pernyataannya sebagai propaganda untuk elektabilitas atau pemerintah yang bertanggung jawab pada semua rakyat, tanpa kecuali.

Alhasill, jika semua persoalan itu pun tidak bisa dijelaskan kepada rakyat, misalnya: apakah dia sedang mengggunakan uang negara untuk pergi ke Garut baru-baru ini mencukur rambut dan beli sabun cuci piring? Atau sebagian uang negara mix dengan uang timses, tanpa rakyat tahu, apalagi minta soal isu pemilu beradab, bagaimana bisa rakyat tahu?

Inagt besarnya musibah bagi bangsa Amerika adalah akibat adanya keterbelahan mereka antara kaum Demokrat vs Republik. Hal inilah yang juga kita alami saat ini antara pro Jokowi vs pro Prabowo. Meski begitu, sebagai sebuah bangsa yang pendidikan rakyatnya masih tergolong rendah, kita semua berharap pemimpin bangsa ke depan aka lebih baik,  yakni mengutamakan politik beradab, sesuai azas Pancasila, musyawarah mufakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement