Sabtu 09 Feb 2019 13:53 WIB

Pesantren, Kaligrafi, Lagu : Menelisik Buku Kisah Dhani Dewa

Kisah soal sosok Ahmad Dhani yang unik semakin bertebaran.

Terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik Ahmad Dhani (tengah) bersiap mengikuti sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/2/2019).
Foto:

Kisah senada yang lain diceritakan seniman dan pakar kaligrafi yang kini mengasuh Pesantren Lemka (Lembaga Kaligrafi), KH Didin Sirojuddin AR. Selain berprofesi sebagai dosen, dia juga menjadi pelukis kaligrafi yang jempolan. Karya momentalnya adalah tulisan Arab/khat yang ada di seluruh lembar tafsir Alquran berwajah puisi karya tokoh satra ‘HB Jassin’. Dan berkah karyanya dalam tafsir tersebut Kiai Didin selain dapat hinir lumayan, dia bisa pergi haji bersama keluarganya ke tanah suci.

Tak hanya itu, kata Kiai Didin, ada dalam terjemahan Jassin itu. Padahal dahulu sempat dipermasalahkan karena Jassin menyebul Alquran sebagai puisi. Namun terjemahan Alquran dengan model puisi sebenanrya didahulu oleh Penyair asal Yogyakarta Mohammad Diponegoro. Terjemahannya kala itu kerap di dengan di Radio Australia, di mana dia memang jadi penyiarnya. Diponegoro adalah pendiri Teater Muslim yang kala tahun di sekitar tahun 1965 getol melawan Lekra yang getol mementaskan 'kethoprak'  atau 'Ludruk' agitasi anti Tuhan dengan lakon misalnya 'Patine Gusti Allah'. Drama teater Muslim yang melegenda adalah lakon 'Tikungan dan Iblis'. Dari teater ini kemudian muncul sutradara besar Arifin C Noer, Chaerul Umam, Aktor Pedro Yuwono dan Amaroso Khatamsi

Namun beda dengan Dhani yang menyebut ‘penista agama harus diludahi’, Jassin yang juga sempat membela karya yang terkena tuduhan penghinaan pada agama di tahun 1968 atau di awal Orde Baru, dia tak pernah divonis hakm hukuman penjara. Jassin --pada kasus Ki Panji Kusmin ‘Langit Makin Mendung’ -- hanya dihukum percobaan pidana saja. Nah, coba sekarang misalnya dibandingkan dengan ujaran Rocky Gerung yang menyebut kitab suci adalah fiksi sudah heboh bukan main dan diperiksa polisi karena dilaporkan sebagai tindak pidana.

photo
Karya kaligrafi KH Didin Siradjuddin dalam tafsir Alquran berwajah puisi.

Dan terkait khusus dengan sosok Ahmad Dhani, Kiai Didin berkisah begini:

Persinggungan dengan Dhani bermula dari lukisan cat minyak berjudul "Perahu Lomba Menuju Kebaikan"  yang dibuat tahun 2002 di kanvas berukuran 50 x 60 cm. Luksan ini di dominasi warna biru memvisualkan warna laut dan langit yang bertemu dengan garis batas mega yang bergumpal-gumpal. Tapi, biru juga adalah warna surga yang jadi tujuan al-awwalu wal akhiru setiap kompetisi meraih kebaikan.

Lukisan kecil itu memang berisi seruan ayat Alquran "Berlombalah dalam kebaikan". Dan lukisan ini mungkin, secara kebetulan dipamerkan bersamaan dalam peristiwa besar yang mengguncang jagat musik dan prasangka penistaan terhadap agama. Di tahun 2005 itu, grup musik pop Dewa kesandung tuduhan "menghina" Allah dalam sebuah pentas televisi swasta karena menginjak logo Laskar Cinta yang banyak disebutkan memakai kalimat 'Allah' dalam karpet yang dihamparkan oleh manager Republik Cinta.

Nah, dalam kisruh tersebut pihak pertama kali yang melaporkan kejadian adalah Ustaz KH Wahfiyuddin yang menonton pertunjukan tersebut. Gugatan yang pun pantul-memantul dan makin menambah geger "kecelakaan" para pelantun lagu Laskar Cinta karangan Ahmad Dhani pentolan grup Dewa.


photo
Ahmad Dhani dan Logo Republik Cinta.

Terkait soal tersebut , tuntutan (terutama oleh ormas-ormas Islam) agar Ahmad Dhani diadili dan diseret ke penjara semakin hari bertambah kencang. Berita-berita di media sosial pun juga semakin bergemuruh.

photo
Lukisan kaligrafi: Perahu Lomba Menuju Kebaikan

Dan terimbas soal ini, saya jadi diikutkan. “Kala itu  saya dipanggil Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan dan pendapat sebagai saksi ahli soal ini.”

Benar saja di depan penyidik kepolisian Kiai Didin pun diminta pendapatnta. "Bagaimana menurut Pak Sirojuddin sebagai saksi ahli, apakah sampai di sini saja atau perkara ini diteruskan sampai pengadilan? Tentu dengan alasannya," tanya interogator di Polda Metro Jaya kepada Kiai Didin.

"Tidak perlu dilanjutkan, Pak," jawab saya. "Apalagi menurut pendapat saya Si Dhani itu tidak mungkin sengaja bermaksud menghina Allah. Dia sekawan (Dewa 19) itu memang menginjak logo yang dihamparkan oleh panitia, seperti petinju menginjak logo Don King. Mana dia berani menghina Tuhan. Yang berani menghina Tuhan itu hanya komunis atau atheis. Dhani itu tukang ibadah, sangat tahu agama, memahami filsafat dan tasawuf. Jadi sebaiknya tak diteruskan," tegas Kiai Didin melanjutkan jawaban dari pertanyaan intregator Polda Metro Jaya. Dan setelah itu, Dhani memang bebas.


Lalu, apa hubungannya dengan lukisan ‘Fastibul Khoirat itu? Kiai Didin ternyata punya kisah yang lain lagi. Katanya, memang tidak lama sesudah kasus itu, dalam pameran kaligrafi di Hotel Sahid, Jakarta, Dhani yangg datang ke pameran lukisan dia ‘todong’ untuk beli lukisan kaligrafinya.

"Dhan, tolong beli lukisan saya. "Yang mana, Pak Didin?" Dhani bertanya yang langsung saya tunjuk ayat "fastabiqul khairat" (فاستبقواالخيرات).

Kala itu dengan entengnya lukisan kaligfari itu dia bayar. Malah harga harga lukisan itu yang semula hanya dibandrol Rp 5 juta, tapi oleh Dhani dibayarnya dengan Rp 7,5 juta.

‘’Di sini, Ahmad Dhani pun "membebaskan" lukisan itu dari "tahanan rumah" saya. Cuma, hanya waktunya yang berdekatan dengan huru-hara tulisan dan logo Laskar Cinta. Jadi ya hanya kebetulan. Tapi itulah kenangan saya terhadap sosok Ahmad Dhani dan kaligrafi 'Fastabikhul Khairat’,’’ kata Kiai Didin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement