REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Penyandang disabilitas merupakan warga negara yang memiliki hak politik sama seperti warga-warga lain. Di DIY, fasilitas penyandang disabilitas hingga hari ini terbilang belum optimal.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, secara umum terdapat lima hak politik penyandang disabilitas. Memilih dan dipilih dalam jabatan politik menjadi hak politik yang pertama.
Mereka juga berhak menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, dan memilih partai politik dan atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum. Hak mereka juga membentuk, menjadi anggota dan atau pengurus organisasi masyarakat dan atau partai politik. Terakhir, ada hak politik untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada tingkat nasional dan internasional.
Jelang pemilu serentak pada April mendatang, sudah pasti fasilitas penyandang disabilitas harus terpenuhi. Ketua Komite Disabilitas DIY, Setia Adi Purwanta mengingatkan, kesiapan terkait itu memang harus terus dipantau.
"Sejauh mana KPU mempersiapkan diri dan merancang penyelenggaraan pemilu yang terkait difabel," kata Setia, Kamis (7/2).
Pendataan misalnya. Ia menekankan, semua elemen masyarakat harus memastikan apakah semua penyandang disabilitas sudah terdata, serta apakah sudah disiapkan jalur-jalur bagi mereka yang belum terdata.
Diskusi Fasilitasi Hak Hak Penyandang Disabilitas dalam Pemilu 2019 di Kantor Komite Disabilitas DIY, Rabu (6/2).
Selain penyandang disabilitas secara umum, ia turut mengingatkan ada keperluan khusus bagi teman-teman yang merupakan disabilitas mental. Terlebih, belum dijelaskan disabiltas mental mana saja yang memiliki hak pilih.
Setia turut menekankan kesiapan para penyandang disabilitas yang ada di panti. Apakah akan dibuatkan tempat pencoblosan sendiri atau akan kepastian mereka bisa datang jika harus mendatangi TPS, itu belum dijelaskan secara rinci.
Aksesibilitasnya dirasa menjadi komponen yang sangat penting. Termasuk, tentang penempatan pendamping, karena difabelnya seperti apa dan pendampingnya seperti apa yang tentu kebutuhannya berbeda belum dijelaskan.
Ia juga merasa, pendidikan politik kepada para penyandang disabilitas sangat perlu diberikan. Sayangnya, hingga hari ini, yang beberapa bulan lagi pemilu serentak, sosialisasi itu seperti tidak terpikirkan.
"Nah kita pemilihan umum apa tidak tahu, tiba-tiba didorong untuk mau pilih apa, nah pemahaman tentang pemilihan umum dan pentingnya pemilihan umum bagi difabel itu penting," kata Setia.
Setia menekankan, jangan sampai para penyandang disabilitas ini didorong ke kiri atau kanan, yang sebenarnya mereka tidak tahu. Maka itu, semua elemen masyarakat penting memahami dan memastikan hak-hak difabel itu terpenuhi.
Senada, Komisioner Pemantauan dan Layanan Pengaduan Komite Disabilitas DIY, Winarta menegaskan, hak-hak politik difabel harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi mereka-mereka yang diberikan kewajiban menjalankan itu. Penting dipantau seberapa jauh Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan seluruh difabel yang punya hak memilih itu terekam sebagai pemilih. KPU harus pula memastikan saat pelaksanaan para difabel tidak kesulitan atau terhambat.
Itu baik para difabel yang tinggal di rumah maupun mereka yang tinggal di panti-panti. Terlebih, para penyandang disabilitas yang tinggal di panti-panti selama ini saja cukup sulit untuk terpantau.
Winarta menegaskan, KPU harus bisa memastikan mereka yang di panti-panti yang selama ini tidak selalu bisa dipantau memiliki kepastian dapat menggunakan hak pilihnya. Termasuk, mereka yang merupakan penyandang disabilitas mental.
"Sejauh mana mereka sudah mengupayakan penyandang disabilitas mental itu masuk dalam daftar pemilih, teknis ketika akan menggunakan hak pilih, dan KPU penting memberi pemahaman kepada masyarakat yang pemahamannya masih berbeda-beda," kata Winarta.