Rabu 06 Feb 2019 22:25 WIB

Alasan KPK Tolak Permohonan Status JC Eni Saragih

Eni hari ini dituntut delapan tahun penjara dalam kasus korupsi proyek PLTU Riau-1.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih bersiap mengikuti sidang tuntutan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih bersiap mengikuti sidang tuntutan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak permohonan status justice collabolator yang diajukan Mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih. Dalam tuntutan Jaksa KPK, Eni merupakan pelaku utama sehingga permohonan tersebut tak dapat dikabulkan.

Dalam pertimbangan Jaksa KPK, Eni memang cukup kooperatif mengakui perbuatannya di dalam proses persidangan sehingga membantu penuntut umum dalam membutkikan perkara. Namun, Eni yang merupakan anggota komisi VII dan merupakan pelaku utama .

Dalam tuntutannya, Jaksa KPK meyakini Eni Saragih bersalah karena menerima uang suap sebesar Rp 4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.‎ Selain itu, Eni juga diyakini telah menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha.

Dalam tuntutan, uang yang diterima Eni tersebut agar membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.

Menurut jaksa, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.

Selain itu, Eni juga dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura. Sebagian besar uang tersebut diberikan oleh pengusaha di bidang minyak dan gas. Menurut jaksa, sebagian uang tersebut digunakan Eni untuk membiayai kegiatan partai. Selain itu, untuk membiayai keperluan suaminya yang mengikuti pemilihan bupati di Temanggung.

"Berdasarkan pertimbangan di atas dan SEMA Nomor 4/2011 maka permohonan tidak dapat dikabulkan," ujar Jaksa Lie Setiawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (6/2).

Selain ditolak permohonan JC, Eni juga dituntut untuk dijatuhkan pidana berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun sejak terdakwa Eni Maulani Saragih selesai menjalani pidana pokok. Tuntutan pidana pokok untuk Eni adalah delapan tahun penjara. 

Politikus Partai Golongan Karya itu juga dituntut membayar denda sebesar Rp 300 juta subsidair empat bulan kurungan. Selain itu, Jaksa KPK juga menuntut agar Eni membayar uang pengganti sebesar Rp 10,3 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.

Sementara Eni setelah mendengar tuntutan Jaksa KPK mengaku kaget. Menurutnya dirinya selama ini sudah bersikap kooperatif menyampaikan semua apa yang ia rasakan dan dengar kepada KPK.

"Ini pembelajaran juga buat semua yang saya pikir, dengan saya kooperatif, dengan saya menyampaikan semua yang saya rasakan, saya pikir ini membuat jadi ringan," tutur Eni.

"Saya juga mencoba buat mengembalikan semua, saya berharap itu menjadi ringan. Tapi memang hari ini sepertinya yang saya rasakan mungkin kita tahu semua, fakta persidangan juga saya ga tahu. Pokoknya semua jadi maksimal, saya kaget. Ya, saya akan meminta keadilan nanti pada hakim pada pleidoi saya juga akan sampaikan pembelaan saya tentunya. Saya pernah sampaikan juga kemarin saat jadi saksi terdakwa," tambah Eni.

Eni pun merasa tak terima bila dirinya disebut sebagai pelaku utama. Karena menurutmya ia hanya melalukan perintah dari Ketua Umum Partai Golkar saat itu, yakni Setya Novanto.

"Saya nggak punya saham di Blackgold dan Samantaka, saya hanya diperintah sebagai petugas partai," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement