Jumat 01 Feb 2019 17:17 WIB

Warga Terdampak LRT Minta Kejelasan

Warga merasa tidak diperlakukan dengan jelas oleh pemerintah dan pemegang proyek

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Esthi Maharani
Proyek pembangunan kereta api ringan (LRT) Jabodebek
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Proyek pembangunan kereta api ringan (LRT) Jabodebek

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI – Operasional transportasi lintas rel terpadu (LRT) Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi mundur dari jadwal semula yang ditargetkan akhir 2019. Mundurnya waktu operasional itu akibat masih menemui kendala dalam pembebasan lahan depo LRT di wilayah Kabupaten Bekasi. Pasalnya, warga terdampak proyek menuntut kejelasan proyek dari pemerintah dan pemegang proyek.

Perusahaan pemegang proyek, PT Adhi Karya (persero), Tbk menyatakan, keterlambatan operasional LRT diperkirakan selama 22 bulan. Adapun letak depo LRT akan dibangun di wilayah permukiman tepatnya di Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Kampung tersebut meliputi tiga rukun warga dengan jumlah sekitar 500 kepala keluarga.

Ketua Forum Komunikasi Kampung Jati Terbit, Sondi Silalahi, menjelaskan, warga sejatinya tidak ingin menghambat proyek strategis nasional (PSN) LRT. Hanya saja, mereka yang terdampak merasa tidak diperlakukan dengan jelas oleh pemerintah dan pemegang proyek.

“Kita minta pemerintah transparan terkait proyek ini, bagaimana nasib kesejahteraan warga setelah meninggalkan tanah ini,” kata Sondi ketika ditemui di lokasi, Jumat (2/1).

Menurut Sondi, kejelasan proyek LRT seakan ditutup-ditutupi dari warga yang akan digusur. Pada Januari 2018, seluruh penduduk Kampung Jati Terbit mendapatkan sosialisasi dari Kementerian Perhubungan (kemenhub), Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi, dan PT Adhi Karya, Tbk. Sosialisasi itu digelar tanpa adanya konsultasi publik yang semestinya dilakukan sebelumnya.

Namun, beberapa bulan kemudian, hanya segelintir warga yang diundang untuk bertemu guna membahas biaya penggantian tanah dan rumah. Sedangkan pengukuran tanah oleh petugas hanya dilakukan di segelintir rumah warga. Akibatnya, kata Sondi, masyarakat mulai curiga dan merasa proyek LRT tidak dilaksanakan secara transparan. 

Di satu sisi, luas pembangunan depo LRT juga berubah. Semula, kata Sondi, luas design depo mencapai 14 hektare (ha). Kemudian berubah menjadi 12 ha dan berganti lagi menjadi 10,5 ha. Luas depo yang berubah-ubah itu membuat warga jadi resah. Pihak BPN Kabupaten Bekasi yang semestinya memberikan penjelasan juga tak merespons permintaan warga.

Sondi menjelaskan, warga saat ini tidak melakukan gugatan karena tanah Kampung Jati Baru berstatus quo. Tanah yang terdiri dari RW 6, 7, dan 8 itu belum terdaftar di BPN Kabupaten Bekasi terkait siapa pemiliknya. Dari sekitar 500 KK, hanya 2 KK yang sudah memiliki sertifikat hak milik tanah.

Namun, BPN Kabupaten Bekasi belakangan mengeluarkan Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Adhi Karya, Tbk di wilayah RW 6. Mengetahui hal tersebut, Sondi mengaku para warga merasa diintimidasi demi proyek LRT.

“Jadi sekarang kami minta pemerintah pusat datang kesini berikan penjelasan. Saya jamin dua hari selesai masalah kalau semuanya jelas. Kita semua bingung,” kata Sondi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement