Rabu 30 Jan 2019 14:41 WIB

Ahli Hukum Sarankan Presiden Tinjau Ulang Remisi Susrama

I Nyoman Susrama adalah terpidana pembunuhan wartawan Radar Bali AA Prabangsa.

Jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali menggelar aksi damai mendesak pembatalan remisi bagi I Nyoman Susrama di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Jumat (25/1/2019).
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali menggelar aksi damai mendesak pembatalan remisi bagi I Nyoman Susrama di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Jumat (25/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ahli Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar meninjau kembali Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018 terkait remisi kepada narapidana kasus pembunuhan wartawan, I Nyoman Susrama. Hukuman pidana penjara seumur hidup untuk Susrama diubah menjadi 20 tahun penjara.

"Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan Dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara, sebaiknya ditinjau kembali oleh Presiden. Meskipun secara hukum prosedur pemberian remisi sudah sesuai prosedur berdasarkan Keppres 174 Tahun 1999 tentang Remisi," katanya di Denpasar, Rabu (30/1).

I Nyoman Susrama berdasarkan putusan pengadilan telah terbukti menjadi otak pembunuhan wartawan Jawa Pos Radar Bali, AA Gede Bagus Narendra Prabangsa. Sebelumnya, pelaku Susrama divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Denpasar, tetapi dengan pemberian remisi tersebut menjadikan hukuman Susrama menjadi 20 tahun penjara.

Menurut Jimmy, walaupun secara hukum pemberian remisi sudah sesuai prosedur hukum, bukan berarti bisa mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Jimmy mengemukakan, pada pasal 9 ayat (1) Keppres 174/1999, menyatakan, "Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit lima tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 tahun".

"Kata 'dapat' menekankan pada diskresi dari Menteri Hukum dan HAM melalui Dirjen Pemasyarakatan setelah mendapatkan usulan dari Kepala Lapas, setelah ada permohonan dari narapidana," ujarnya.

Dengan kata "dapat", lanjut dia, menunjukkan bukan otomatis menjadi hak narapidana yang harus dipenuhi negara untuk diberikan remisi. Namun, pemerintah diberi ruang untuk mengkaji terhadap aspek lain yang menjadi pertimbangan remisi tersebut, sebagaimana dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) yakni aspek "keadilan".

"Saya harapkan Presiden mempertimbangkan kembali rasa keadilan dalam masyarakat melalui revisi Keppres 29/2018 tersebut," ucapnya.

Selain itu, perlu ada juga revisi terhadap Keppres 174/1999 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Tujuannya, agar tidak ada lagi persoalan semacam ini di kemudian hari.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement