REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosok Rahman Tolleng begitu melekat di hati dan pikiran Sarwono Kusumaatmadja, junior Rahman ketika menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Senior yang dikenal sebagai "orang bawah tanah" itu secara tidak langsung berhasil membuat mahasiswa yang apatis terhadap politik berubah.
Sarwono mengenang masa-masa kuliahnya pada tahun 1965. Menurut mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 1988-1993 itu, menjelang G30SPKI, di kampusnya terjadi polarisasi yang tajam antara mahasiswa kiri dengan mahasiswa biasa.
"Kita pun merasa ditekan dan suasananya mencekam sekali. Dengan sendirinya kita-kita yang independen ini kan nyari narasumber yang dianggap bisa menolong kita mengatasi konflik itu," ungkap Sarwono melalui sambungan telepon kepada Republika.co.id, Selasa (29/1).
Dari situ, berkenalanlah dia kemudian dengan senior-seniornya di kampus, termasuk dengan Rahman. Tetapi, Sarwono tak pernah bertatap muka dengan Rahman karena status Rahman saat itu adalah buronan dan dicari oleh rezim Demokrasi Terpimpin. Karena itu, Rahman dijuluki sebagai salah satu "orang bawah tanah". Mereka saling bertukar pikiran dan informasi melalui senior-senior yang ada di ITB dan Universitas Padjadjaran.
Suasana rumah duka almarhum A Rahman Tolleng di Jalan Cipedes Tengah, Kota Bandung. Aktivis pergerakan 66 ini meninggal dunia pada Selasa (29/1) pagi.
"Sering kali kabar yang kami terima dari Bung Rahman itu tidak disampaikan langsung, tapi melalui teman-temannya yang berada di kampus. Mereka selalu mengatakan, 'arahan Bung Rahman tuh seperti ini," jelas Sarwono. Ia pada akhirnya berkenalan langsung dengan Rahman pada 1966.
Semenjak mengenal Rahman dan rekan-rekannya, mahasiswa yang tadinya apatis terhadap politik menjadi mengenal konsep-konsep alternatif. Konsep yang lain dari apa yang kerap ditawarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sekutu-sekutunya.
Sarwono dan kawan-kawan menjadi paham soal konsep demokrasi, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berorganisasi. Apa yang Rahman sampaikan kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya bukan hal yang normatif belaka, tetapi ia juga menyampaikan bagaimana cara untuk mencapai hal yang ia sebutkan itu.
"Misal, bekerja sama dengan militer itu masuk rumus dalam rangka menegakkan demokrasi. Bagaimana caranya berhubungan dengan militer dan menegakkan demokrasi sekaligus, itu kita diskusikan," tuturnya.
Menurut Sarwono, Rahman adalah sosok legendaris yang kepemimpinan spiritualnya amat membekas dan menular ke generasi-generasi berikutnya. Rahman, yang pagi ini berpulang, juga ia kenal sebagai sosok yang tidak suka menggurui saat memberikan alternatif pilihan atas suatu masalah.
"Jadi dia bilang, kalau alternatif ini kau tempuh, ini konsekuensinya. Kalau alternatif itu yang kau tempuh itu konsekuensinya. Nah, apa yang kau pilih, ya pikirin aja sendiri. Dia cuma ngasih peta jalan dan terpulang pada kita apa yang terbaik," katanya.
Secara pribadi, hal yang juga Sarwono. ingat tentang sosok Rahman adalah perhatiannya terhadap "anak buah". Perhatiam Rahman kepada juniornya sangat besar, termasuk kepada dirinya. Pada 1970, ketika Sarwono baru menikah dan sudah menjadi anak yatim, ia sangat membutuhkan pekerjaan.
"Dia kasih pekerjaan saya sebagai reporter dan dia juga yang kasih saya jalan supaya bisa bekerja untuk koran Pikiran Rakyat. Bekerja sebagai penulis editorial," ujar pria yang mengaku sangat senang ketika dulu mendapatkan upah dari tulisannya itu.
Sarwono yang hadir di rumah duka dan memberikan sambutan mewakili keluarga Rahman hari ini mengajak semua pihak memaafkan kesalahan yang pernah dibuat oleh almarhum. Ia pun mengajak seluruh pihak untuk mengenak sisi-sisi terbaik dari almarhum.
"Marilah kita memaafkan kesalahan beliau dan mengenang sisi-sisi terbaik dari beliau dengan menyebarluaskan hal-hal yang baik tentang beliau karena hal yang baik itu memang wajib kita sebar luaskan," tuturnya.