REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, pihaknya menerima informasi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) tentang masih lambatnya proses pemecatan PNS yang telah terbukti korupsi. Hal tersebut membuat negara mengalami kerugian hingga dua kali lipat.
"Hal ini disebabkan mulai dari keengganan, keraguan atau penyebab lain para PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) dan beredarnya surat dari LKBH Korpri yang meminta menunda pemberhentian para PNS tersebut," kata Febri dalam pesan singkatnya, Senin (28/1).
Febri menuturkan, hingga 14 Januari 2019, dari data BKN, hanya 393 PNS yang diberhentikan tidak dengan hormat dari daftar 2.357 PNS yang telah divonis bersalah melalui putusan berkekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, di luar 2.357 PNS tersebut terdapat tambahan 498 PNS yang terbukti korupsi diberhentikan, sehingga total PNS yang diberhentikan adalah 891 orang.
Seharusnya, pemecatan seluruh PNS yang berjumlah 2.357 ini ditargetkan selesai pada akhir Desember 2018. "KPK sangat menyayangkan rendahnya komitmen PPK baik di pusat ataupun daerah untuk mematuhi perundang-undangan yang berlaku tersebut," ujar Febri.
Saat ini, sambung dia, KPK sedang terus bekoordinasi untuk memastikan ketidakpatuhan atau hambatan dalam pemberhentian ini. Terlebih sejak 13 September 2018 telah ditandatangani Keputusan Bersama Mendagri, Menpan RB dan Kepala BKN.
"Seharusnya hal ini dipatuhi," tegasnya.
Diketahui, utuk instansi Pusat, dari 98 PNS yang divonis bersalah karena korupsi, baru 49 orang yang diberhentikan. Beberapa kementerian tercatat belum memberhentikan sejumlah PNS yang melakukan korupsi.
Tercatat Kementrian yang belum memecat pegawainya adalah Kementerian PUPR: 9 orang; Kemenristek Dikti: 9 orang; Kementerian Kelauatan dan Perikanan: 3 orang; Kementerian Pertahanan: 3 orang dan Kementerian Pertanian: 3 orang.
Sedangkan Kementerian yang terbanyak memberhentikan PNS terbukti korupsi adalah Kementerian Perhubungan 17 orang dan Kementerian Agama 7 orang. Febri menambahkan, seharusnya Judicial Review yang diajukan ke MK tidak bisa menjadi alasan untuk menunda aturan yang telah jelas tersebut.
"KPK mengimbau agar Pimpinan instansi serius menegakan aturan terkait dengan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap PNS yang korupsi tersebut. Karena sikap kompromi terhadap pelaku korupsi, selain dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, juga beresiko menambah kerugian keuangan negara karena penghasilan PNS tersebut masih harus dibayarkan negara," tegasnya.
Menurut Febri, jika PNS yang ada di pusat dan di daerah belum diberhentikan, sementara mereka masih mendapatkan gaji dan tunjangan, maka ada resiko kerugian keuangan negara yang lebih besar.
"Jadi negara bisa rugi dua kali. karena itu kami sangat sesalkan lambatnya sikap PPK di sini adalah pejabat Pembina kepegawaian kalau di daerah itu kepala daerah kalau di Kementerian itu pejabat yang ditunjuk di sana yang sangat lambat melakukan pemberhentian terhadap para PNS yang terbukti korupsi ini," tutur Febri.
Daftar koruptor berdasarkan pekerjannya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akan terus mendorong pemerintah daerah segera melakukan pemberhentian terhadap PNS yang terbukti korupsi. Hal itu disampaikan Tjahjo menyusul pernyataan KPK yang menilai pemberhentian PNS yang terbukti korupsi masih lambat.
"Seterusnya kita akan kejar dan secepatnya," ujar Tjahjo di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (28/1).
Tjahjo mengakui, pemberhentian PNS korupsi semestinya selesai pada Desember 2018 kemarin. Itu sesuai dengan kesempatan dengan Pemerintah daerah.
"Kemarin sudah dirapatkan di KPK, pokoknya secara prinsip kesepakatan dengan semua daerah sudah diputuskan akhir Desember," ujar Tjahjo.
Namun ternyata jumlah PNS korupsi yang diberhentikan masih jauh dari angka keseluruhan. Tjahjo beralasan, ada masalah adiministrasi yang membuat pemberhentian PNS korupsi tak juga rampung.
"Alasannya kan administasi tapi kan daerah bukan kami ke BKN, Desember juga target sudah bagus. Sekarang dikejar sama KPK," ujar Mantan Sekjen PDIP tersebut.
Penyebab lambatnya pemecatan
Sementara itu, BKN mengungkapkan ada sejumlah alasan PNS tervonis korupsi tak kunjung dipecat. Salah satu alasannya kepala daerah mengaku belum menerima salinan putusan dari Majelis Agung (MA).
Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan mengatakan dari Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN disebutkan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) berwenang mengangkat, merotasi dan menghentikan PNS. PPK di tingkat Kementerian ialah Menteri dan di tingkat daerah yaitu kepala daerahnya.
Ia menekankan cepat atau lambatnya pemecatan PNS dalam bentuk pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) tergantung PPK. BKN, kata dia tugasnya mendata PNS tervonis korupsi dan telah inkrah. "Persoalan lambat karena PPK mengaku enggak terima salinan amar putusan MA. Makanya kami gandeng MA biar pas sudah inkrah maka salinannya cepat dikasih ke PPK biar ditindak secara administratif," katanya, Senin (28/1).
Menurutnya, wajar bila PPK menunggu adanya salinan putusan MA. Sebab, keputusan PPK berpeluang dituntut di kemudian hari jika tak sesuai dengan hal itu. Sehingga, BKN mengaku akan memperkuat koordinasi dengan MA supaya tiap salinan putusan secepatnya diberikan pada PPK.
"Tanpa salinan itu maka enggak ada dasarnya khawatir bisa di PTUN-kan. PPK akhirnya ragu-ragu, takut salah orang," ujarnya.
Selain itu, ia menyebut adanya PPK yang nakal tak memecat PNS tervonis korupsi. Menurutnya, PPK kerap berdalih kasus yang diterima PNS itu merupakan beban PPK sebelumnya. Kemudian, PPK tersebut yang mayoritasnya kepala daerah enggan melaksanakan pemecatan.
"Ada keengganan PPK, bisa saja anggap problem bupati terdahulu. kok mereka merasa harus membersihkan kesalahan bupati sebelumnya. Tapi ini kewajiban PPK eksisting kapan pun terjadi tipikor," ucapnya.
Tak berhenti di situ, ia mengatakan keputusan memecat PNS tervonis korupsi sering dibenturkan dengan alasan kemanusian. Ia mengungkapkan ada pihak yang membela para PNS tersebut. Padahal menurutnya, pemecatan itu sudah disandarkan hukum yang berlaku. Terlebih lagi, pemecatan semestinya dilakukan 30 hari seusai keluar inkrah dari pengadilan.
"Kami sampaikan unsur kemanusiaan ada dalam putusan hakim sebelumnya. Kalau mau rasa keadilan maka sudah lewat," tegasnya
Baca juga: Maklumat Habib Rizieq Serukan Kader FPI Mundur dari PBB
Baca juga: JK Perintahkan Pengurus Masjid Bakar Indonesia Barokah
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) mengatakan, soal pemecatan merupakan kewenangan pimpinan PNS bersangkutan.
Syafruddin menilai belum dipecatnya PNS yang terbukti korupsi bukan menjadi kewenangannya.
KemenPANRB, kata dia hanya bertugas melakukan pendataan PNS yang berhadapan hukum. Kemudian, pemecatannya diserahkan pada Kepala Daerah bila PNS bekerja di Pemda. Sedangkan pemecatan PNS di Kementerian ialah otoritas menterinya.
"Itu bukan di kami, Itu urusan para Gubernur dan Bupati yang bersangkutan bila disana ada PNS yang terbukti korupsi," katanya.
Ia mengakui masih lambatnya pemecatan PNS terbukti korupsi. Salah satu kendalanya karena kepala daerah tidak bertindak langsung. Untuk masalah ini, ia menyerahkan pada Kemendagri agar mengingatkan para kepala daerah tersebut. "Silahkan tanya Mendagri saja untuk urusan yang ini, bukan di kami," ujarnya.
Baca juga: Melihat Kekuatan 'Poros Makkah' Pendukung Prabowo-Sandi
Baca juga: BPN Bicara Orang di Balik Tabloid Indonesia Barokah