Senin 28 Jan 2019 14:42 WIB

Bencana Alam atau Bencana Manusia?

Bumi ini sudah tua. Berarti, kiamat sudah dekat.

Presiden Jokowi meninjau lokasi bencana terdampak tsunami, Senin (24/12).
Foto: Dok Biro Pers dan Media
Presiden Jokowi meninjau lokasi bencana terdampak tsunami, Senin (24/12).

Selama ini kita selalu lupa dan lalai. Tatkala mendapat kenikmatan dunia kita tidak bersyukur, tetapi saat ditimpa musibah dan cobaan atau ujian, diri kita yang hina ini baru mampu mengingat Allah subhanahu wa ta'ala.

Betapa banyak di tayangan video yang diunggah di media sosial, banyak yang ingat Allah subhanahu wa ta'ala tatkala musibah sudah di depan mata. Mereka minta ampun, mereka berdoa, mereka minta diselamatkan, dan lain-lain. Ucapan zikir dan doa mengalir deras dari lisan mulut-mulut mereka. Yang ada dibenak mereka saat itu Allah, Allah, dan Allah, sang Pencipta Alam Semesta ini.

Lalu, ke mana kita selama ini? Seruan azan memanggil dari corong masjid dan mushalla termasuk di televisi dan radio setiap lima waktu kita lalai. Kesibukan dunia menjadikan kita selalu mendewakan pekerjaan demi memeroleh seungguk kenikmatan duniawi semata. Kita lupa dengan Sang Pencipta, kita lupa yang sang Pemberi Rezeki, kita lupa pula dengan Pengatur Alam Semesta ini.

Masjid-masjid yang berdiri di kampung dan kota yang megah itu sepi jamaah. Generasi muda umat ini dapat dihitung dengan jari berada di masjid shalat berjamaah, apalagi waktu Subuh. Diri kita tidak mau dikatakan orang kafir. Padahal pembedanya ada shalat.

Kita tidak mau dikatakan orang munafik. Padahal, ciri orang munafik tersebut, sangat berat melakukan shalat, apalagi shalat Isya dan Subuh.

Masih banyak sekolah dan kantor tidak melazimi shalat berjamaah di masjidnya tatkala waktu zuhur dan ashar tiba. Bahkan, masjid dan mushalanya pun tak terdengar suara azan memanggil ketika waktu shalat. Alasannya mengganggu rutinitas sekolah dan kantor.

Pedagang di pasar masih banyak yang lalai dengan waktu shalat ketika suara azan dari masjid terdengar. Perdagangan dunia mereka telah melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wa ta'ala. Padahal, bukankah perdagangan akhirat itu lebih utama dibandingkan perdagangan dunia.

Kita teperdaya dengan ambisi kita. Masjid-masjid dibangun, masjid direnovasi, masjid ditinggikan dan dibaguskan. Kita berlomba-lomba meninggikan bangunan masjid, karena kita hanya melihat saat shalat Jumat dan shalat tarawih setahun sekali saja. Masjid sempit, jamaah tak tertampung. Takmir masjid harus rapat lagi untuk mengatasi sempitnya masjid.

Kita selalu lupa dengan shalat lima waktu, shalat fardhu atau wajib sehari semalam yang harus dikerjakan umat Muslim yang sudah akil baligh. Bahkan ada selentingan orang Islam yang menyatakan, “Kalau shalat wajib bisa dikerjakan di rumah, sudah biasa. Tapi kalau zikiran dan istighasah, jarang-jarang baru ke masjid.”

Padahal masjid dibangun dan didirikan agar umat ini bisa beribadah di dalamnya, bukan di rumah. Lagi pulau seruan azan memanggil shalat itu datangnya dari masjid dan musholla. Betapa kerasnya hati kita menolak atau melalaikan seruan azan yang notabene panggilan Allah subhanahu wa ta'ala. Isi seruan azan itu, kalau kita resapi, “Marilah kita shalat. Marilah menuju kemenangan.”

Alhamdulillah, masjid-masjid penuh saat shalat jumat, karena kewajibannya. Sebagian besar meninggalkan urusan duniawinya baik sekolah, kantor, ataupun perdagangan. Tapi masih banyak juga yang terus melanjutkan aktivitas duniawinya, tanpa merasa berdosa tidak shalat jumat, karena tidak ada uzur syar’i.

Tapi ironisnya, ketika shalat jumat masjid penuh hingga shaf belakang bahkan meluber ke teras masjid. Coba kita lihat saat waktu shalat Ashar tiba. Kaum muslimin yang shalat kembali seperti semula, bisa dihitung dengan jari.

Shaf pertama hanya segelintir orang, itu pun jamaahnya yang usianya lanjut. Ke mana larinya, jamaah shalat jumat yang memenuhi masjid tadi. Tua dan muda, anak-anak dan remaja tak keliatan lagi di masjid itu, semua lari dari masjid. Padahal, sebelumnya sekira tiga jam lalu mereka shalat jumat.

Lagi-lagi kita lupa, atau kita tidak pernah mendapatkan ilmunya. Sesungguhnya terdapat waktu mustajab bila kita melaziminya untuk berdoa dan memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala pada hari Jumat.

“Sesungguhnya pada hari Jumat ada satu saat yang tidak bertepatan seorang hamba muslim shalat dan memohon sesuatu kebaikan kepada Allah melainkan akan diberikan padanya, beliau berisyarat dengan tangannya akan sedikitnya waktu tersebut,” (HR. Al-Bukhori).

Waktu sesaat itu tidak diketahui persis pada hari Jumat tersebut. Ada riwayat yang menyebutkan waktu tersebut pada saat imam atau khatib naik mimbar hingga selesai shalat Jumat. Dan atau waktu sesaat itu pada saat selesai shalat Ashar hingga menunggu waktu shalat Maghrib.

Kembali ke bencana dan musibah tadi, berarti kita manusia ini selalu lalai dan merugi. Seperti dalam Alquran Surat Al-Ashr (103: 1-3). Allah subhanahu wa ta'ala telah bersumpah atas waktu (masa), waktu Ashar (petang). Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dala kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Jadi, tak akan lagi kita menyalahkan alam ketika terjadi bencana. Bumi, air, hujan, api, udara angin, gunung, tanah, binatang, dan lain-lain tidak berdosa. Mereka berproses mengikuti kehendak Allah. Allah-lah yang memerintahkan air, hujan, api, angin, air, dan lainnya. Mereka adalah bala tentara Allah. Mereka tidak berdosa, dan manusialah yang berlumuran dosa.

Allah mengirimkan kita bencana sebagai peringatan agar kita kembali kepada-Nya. Mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Manusia adalah makhluk yang lemah di dunia ini. Manusia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan. Manusia tempatnya lalai dan khilaf. Manusia terselimuti dosa, dan selalu terancam pada perbuatan kemungkaran.

Ancaman perbuatan yang lalai dari perintah Allah, karena setan, jin, dan bala tentaranya selalu menggoda umat manusia, baik dalam keadaan susah maupun senang. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang tidak terancam dengan musibah dan bencana.

Ada dua hal yang menarik bagi umat Islam. Tatkala mendapat musibah ia bersabar, tatkala mendapat kenikmatan ia bersyukur.

“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; Jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim No.2999).

Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Iman itu terbagi menjadi dua bagiaan; sebagiannya (adalah) sabar dan sebagian (lainnya adalah) syukur.” (Ibnu Qayyim: Uddatush shaabiriin hal.88).

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala mengampuni dosa-dosa saudara kita yang terkena bencana atau musibah, merahmati-Nya yang meninggal dunia. Dan segera menyembuhkan kembali dari penyakitnya. Kepada yang terkena musibah kata sabar yang menjadi mujarab. Sedangkan bagi umat yang terhindar dari bencana segera memberikan bantuan meringankan beban saudara kita yang terkenda musibah dan bencana.

Bermohonlah di dunia ini dengan shalat dan sabar. “Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabat dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Wallahu’alam bishawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement