Senin 28 Jan 2019 07:23 WIB

Sepinya Program Studi Keislaman

Kemenag harus mengkaji ulang urgensi dan kompetensi studi ilmu-ilmu dasar keagamaan.

Filsafat Islam (ilustrasi).
Foto: students.ou.edu
Filsafat Islam (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Ridwan Lubis, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Terdapat keprihatinan di kalangan pemangku kepentingan manajemen keagamaan di Indonesia terhadap fenomena sepinya peminat prodi Islam, sehingga perlu dilakukan pengkajian (Republika, 25/1/2019).

Apabila ditelusuri, pengembangan manajemen studi ilmu keislaman semestinya dilakukan menurut alur yang sistematis. Karena dasar utama Islam adalah keyakinan terhadap keesaan Allah maka pangkal agama adalah pengenalan terhadap Allah yang disebut akidah.

Pemahaman terhadap akidah makin kuat bila studi keislaman dilanjutkan pada kajian bersifat filosofis dan maknawi. Karena itu, filsafat maupun tasawuf menjadi ranah permulaan pemikiran guna memperkaya wawasan terhadap konsep tauhid.

Sejalan dengan itu, karena agama dibangun melalui sikap yang demokratis, Islam yang sejalan dengan nilai kemanusiaan bukan hanya menerima keberadaan agama lainnya, tetapi juga membuka ruang kerja sama melalui dialog.

Untuk memperkaya pembacaan terhadap konsep tauhid, diperlukan studi terhadap fenomena keberagamaan yang terdapat pada berbagai agama sekaligus untuk memiliki wawasan terhadap keistimewaan lorong keyakinan yang ditawarkan Islam.

Memahami keberadaan agama-agama, pada dasarnya akan mencakup empat komponen agama, yaitu doktrin, ritual, etika, dan pranata. Jadi, studi perbandingan agama bukan hanya melihat perbedaan doktrin dan ritualnya.

Studi ini juga melihat bagaimana ajaran agama berfungsi menjadi landasan etos kerja dalam pranata sosial umat beragama. Dalam konteks itu, agama bukan hanya konsep normatif tetapi berkembang dengan lahirnya fenomena sosial.

Studi ilmu keislaman memikul beban sosiologis, yaitu bertanggung jawab secara akademis untuk mempersiapkan kemampuan para lulusannya memahami berbagai fenomena sosial keagamaan.

Studi keislaman, khususnya di Fakultas Ushuluddin, memiliki basis serta referensi kuat karena dalam implementasinya, studi Islam ditopang pengetahuan terhadap wahyu yang ditilawahkan yaitu Alquran dan wahyu yang tidak ditilawahkan, yaitu hadis.

Demikianlah gambaran studi dasar keislaman yang sejatinya menjadi konstruk studi keislaman pada lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di dalam wilayah Kementerian Agama. Setelah diperoleh gambaran dari model studi keislaman, baru dikembangkan ke aspek penyiaran (dakwah), pranata hukum (syariah), pranata budaya dan peradaban (adab), serta pendidikan (tarbiyah).

Ada kesan, selama ini paradigma kependidikan Islam dirancang mengikuti tuntutan pasar, sehingga program studi yang jelas nilai pragmatisnya memperoleh perhatian untuk dikembangkan. Dan calon mahasiswanya berbondong-bondong mendaftarkan diri.

Studi ilmu dasar keislaman mengalami kejayaan sekitar 1970 sampai 1980-an ketika patron kebijakan studi keislaman berkembang atas wibawa Prof Dr Harun Nasution. Setelah beliau surut ke belakang, perhatian terhadap paradigma konstruksi ilmu keislaman berubah.

Ditambah pula orientasi pasar lapangan kerja menuntut lembaga pendidikan keislaman penekanannya tidak lagi pada pemikiran filosofis dan maknawi apalagi muncul pandangan bernada prasangka terhadap studi ilmu-ilmu dasar di perguruan tinggi keagamaan.

Bahkan pada akhir 1980-an, muncul gagasan dari kalangan pengambil kebijakan di Departemen Agama yang mengkritik soal urgensi studi filsafat dan perbandingan agama karena dipandang tidak sesuai pengembangan studi keagamaan.

Hal itu berdampak pada menurunnya secara drastis minat mahasiswa mengikuti bidang studi ilmu keislaman. Ditambah lagi dengan stigma terhadap program studi perbandingan agama. Rendahnya minat terhadap program studi keislaman bukan hanya terjadi di lingkungan UIN, tetapi juga perguruan tinggi Islam swasta.

Dalam rangka mencoba mencari jalan keluar dari dilema tersebut, dekan-dekan Fakultas Ushuluddin IAIN se-Indonesia melakukan pertemuan di Cipanas, Garut, pada pertengahan 1990-an dan sepakat membentuk Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (Hipius).

Pertemuan dilanjutkan di Brastagi, Sumatra Utara. Di antara rekomendasinya, mengusulkan kepada pemerintah agar menyiapkan porsi bidang pengabdian para lulusan program studi ushuluddin sebagaimana bidang studi yang lain.

Namun, usulan tersebut kurang memperoleh sambutan dan akhirnya bidang studi keushuluddinan mengalami kemunduran yang ditandai dengan rendahnya minat memasuki bidang studi ini. Padahal, bidang studi keushuluddinan sangat diperlukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement