Senin 28 Jan 2019 07:23 WIB

Sepinya Program Studi Keislaman

Kemenag harus mengkaji ulang urgensi dan kompetensi studi ilmu-ilmu dasar keagamaan.

Filsafat Islam (ilustrasi).
Foto:

Terutama dalam upaya mengembangkan pemikiran konseptual terhadap ilmu-ilmu keislaman. Studi ilmu keislaman juga sulit mengembangkan dialog pemikiran baik dalam hubungan antarpemikiran kefilsafatan maupun minat dan kemampuan membangun dialog antar- dan intern umat beragama.

Sedikit gambaran, ada implikasi lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang memuat ketentuan pembentukan wadah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Pembentukan dilakukan di setiap provinsi, kabupaten dan kota yang jumlahnya lebih kurang mencapai 500 lembaga di seluruh Indonesia. Wadah FKUB tersebut mestinya menjadi ladang pengabdian dari program studi ilmu keushuluddinan.

Namun, karena kurangnya perhatian terhadap bidang studi ini maka peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya, FKUB yang semestinya menjadi ladang membangun wawasan kerukunan di kalangan umat beragama, diisi mereka yang hanya dianggap tokoh.

Sayangnya, mereka kurang dibekali wawasan kebinekaan dalam kehidupan beragama dan berbudaya sehingga kurang terbiasa dengan kultur dialog. Akibatnya, FKUB kurang optimal karena konstruksi atas kerukunan belum didasarkan pertimbangan ilmiah.

Dari paparan di atas, sudah waktunya Kementerian Agama mengkaji ulang urgensi dan kompetensi studi ilmu-ilmu dasar keagamaan ini, sehingga keberadaannya betul-betul menjadi sumbangan positif bagi kemajuan pembangunan bangsa. Dasar pemikiran tersebut, pertama, setiap program untuk memajukan bangsa yang religius, maju, mandiri, dan berkeadaban mesti dilandasi etos kerja yang religius.

Terlepasnya nilai keislaman dalam bangunan etos kerja akan melahirkan sikap pragmatis dalam memaknai pembangunan yang akhirnya melahirkan pola pemikiran asal jadi. Pemikiran pembangunan yang tidak dilandasi etos kerja Islami dengan sendirinya melahirkan suasana paradoks antara moralitas dengan modernitas yang akibatnya melahirkan bentuk patologi sosial yang disebut deviasi endemik.

Padahal, pemuka agama yang memiliki kapasitas ulama selayaknya memiliki empat fungsi kepemimpinan, yaitu sebagai perintis, penyelaras, pemberdaya, sekaligus panutan. Kedua, pekerjaan keilmuan yang bersifat keagamaan akan kesulitan menyambungkan nilai-nilai keagamaan yang absolut dengan tuntutan relativitas terhadap pemikiran pembangunan.

Akibatnya, nilai keberagamaan tidak mampu diaktifkan menjadi landasan menuju pola pemikiran dinamis, kreatif, dan inovatif, sementara kapasitas keintelektualan yang demikian amat dibutuhkan guna mendukung akselerasi dan modernisasi pembangunan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement