Sabtu 26 Jan 2019 02:17 WIB

Laode: SDA Diperjualbelikan dengan Murah oleh Pejabat

KPK baru bisa menangkap sebagian kecil oknum pejabat terkait korupsi SDA.

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif (kanan) bersama koalisi dari masyarakat sipil lintas elemen menggelar aksi di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif (kanan) bersama koalisi dari masyarakat sipil lintas elemen menggelar aksi di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyatakan bahwa banyak sekali sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang diperjualbelikan dengan murah oleh para pejabat. Hal itu diutarakan Laode dalam acara diskusi "Melawan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam" di Gedung KPK RI, Jakarta, Jumat (25/1).

"Ingat yang bisa ditangkap itu hanya sebagian kecil dari sebagian besar yang belum tertangkap," kata Laode.

Laode menyebutkan, lebih dari 20 pejabat diproses KPK terkait dengan sektor kehutanan. "Dalam satu kasus Tengku Azmun Jaafar (eks Bupati Pelalawan), misalnya, kerugian negaranya itu mencapai Rp 1,2 triliun. Ini uang lho bukan uang monopoli," ucap Syarif.

Selanjutnya, kata dia, mantan anggota DPR RI Al Amin Nasution yang hanya divonis 4 tahun penjara. Padahal, kata Laode, Al Amin mengeluarkan izin lebih dari 100 ribu hektare.

"Kasus penyupan Rp 200 juta Arwin A.S. (eks Bupati Siak). Jadi, agak susah bagi kita untuk menjaga lingkungan Indonesia, SDA Indonesia, hutan Indonesia kalau orang-orang yang harusnya merawatnya itu tidak amanah," tuturnya.

Berikutnya, kasus eks Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu yang memberikan izin perkebunan kepada Siti Hartati Murdaya selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) atau PT Cipta Cakra Murdaya (CCM). "Waktu itu dia memberikan izin prinsip untuk kampanye dia jadi bupati. Ketika dia ditangkap, penyidik saya hampir meninggal waktu itu karena apa? Sopirnya itu dia mau tabrak semuanya karena di hutan, terjadi di hutan," ungkap Syarif.

Saat itu, kata dia, Siti Hartati divonis hanya 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta.  "Bagi Hartati Murdaya Rp 150 juta 'nih saya kasih Rp150 juta'. Akan tetapi, undang-undang kita itu memang kalau pemberi maksimum 5 tahun dan dendanya maksimum Rp1 miliar. Saya kurang tahu teman-teman dulu kenapa dulu pengadilan memutuskan seperti itu," kata Syarif.

Sementara itu, sebagai penerima Amran Batalipu, divonis 7 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan. Dengan demikian, menurut dia, korupsi sumber daya alam bukan hanya soal nilai keuangan negara, melainkan kegagalan pengelolaan SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Mengapa itu penting karena itu bukan hanya hari ini, sumber daya alam Indonesia itu juga untuk masa depan," kata Syarif.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement