REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Letak Indonesia yang berada di “cincin api pasifik” (Ring of Fire) membuatnya sebagai negara dengan risiko tinggi bencana seperti gempa, tsunami, dan erupsi vulkanik, bahkan disebut sebagai “Supermall Bencana”. Tidak hanya Indonesia, tingginya risiko bencana juga dialami oleh Jepang. Pengalaman panjang Jepang dalam menghadapi bencana menjadi referensi penting bagi Indonesia dalam mitigasi risiko bencana.
“Bencana yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Banten, dan Lampung menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia bahwa perencanaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi risiko bencana harus dievaluasi dan ditingkatkan di seluruh Indonesia,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono beberapa waktu lalu.
Dengan latar belakang kerjasama antara kedua negara yang sudah terjalin lama, Indonesia-Jepang saling bertukar pengalaman dalam menghadapi bencana. Salah satunya melalui Pertemuan Tingkat Tinggi Pembangunan Infrastruktur ke-6 (The Sixth High Level Meeting on Infrastructure Development) yang dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Anita Firmanti dan Vice Minister for Engineering Affairs, Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism (MLIT) Michio Kikuchi di Jakarta, Kamis (24/1).
Dalam sambutannya Anita menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Jepang yang telah membantu dalam penanganan bencana di Indonesia salah satunya dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Sulawesi Tengah.
“Saya mengucapkan terimakasih kepada pemerintah Jepang melalui JICA yang telah aktif membantu dalam penelitian fenomena likuifaksi di Indonesia dan penyusunan Master Plan Kota Palu Baru. Selain itu Pemerintah Jepang berkomitmen memberikan hibah pembangunan Jembatan Palu IV dan beberapa jembatan lainnya di Palu yang hancur akibat gempa dan tsunami,” kata Anita.
Dalam mitigasi bencana, Indonesia juga belajar dari Jepang mengenai pelaksanaan kebijakan keamanan bangunan gedung (building code) sehingga tahan gempa. Indonesia sendiri, dikatakan Anita, telah memiliki peraturan keamanan bangunan gedung merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Anita yakin jika peraturan tersebut betul-betul diterapkan, maka jumlah bangunan yang roboh akibat gempa akan terus berkurang. “Evaluasi dan penyempurnaan diperlukan. Seperti halnya di Jepang, evaluasi secara menyeluruh mulai tahap perencanaan apabila terjadi gempa besar,” ujar Anita.
Pertemuan tingkat tinggi ini merupakan agenda tahunan sebagai tindak lanjut dari Memorandum Kerjasama (MoC) Indonesia-Jepang periode 2016-2019 yang ditandatangani oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Menteri MLIT Keiichi Ishii pada 29 Desember 2016 lalu. Dalam pertemuan ini dibahas isu-isu terkait kerjasama infrastruktur Indonesia-Jepang yang dibagi menjadi lima kelompok kerja yakni kelompok kerja yakni Jalan, Sumber Daya Air, Sanitasi, Bangunan dan Permukiman dan Pembangunan Perkotaan.
“Melalui forum ini, khususnya kelompok kerja bangunan dan permukiman, diharapkan terjadi dialog mendalam mengenai bagaimana Jepang mengembangkan dan menerapkan building code untuk bisa kita aplikasikan di Indonesia,” pungkasnya.