Kamis 24 Jan 2019 17:02 WIB

Banjir Harus Ditanggulangi, Jangan Terima Sebagai Nasib

Penting diciptakan langkah antisipasi demi bisa menghindari terjadinya banjir.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah pelajar melewati banjir.
Foto: Antara/Harviyan Perdana Putra
Sejumlah pelajar melewati banjir.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Banjir merupakan satu macam bencana yang bisa dibilang cukup akrab dengan masyarakat Indonesia. Namun, terlalu sering terjadi banjir tidak bisa dianggap sebagai bencana langganan yang dimaklumi tanpa ada evaluasi.

Banjir bandang sendiri terjadi cukup cepat, debit puncaknya ekstrim dengan volume hampir sama. Biasanya, banjir bandang mengakibatkan korban jiwa maupun kerugian materil yang lebih banyak dari banjir-banjir lain.

Tiga tahun terakhir bahkan banjir rutin terjadi. Banjir Garut pada 2017, banjir Magelang, Padang, dan lain-lain pada 2018, serta banjir Mojokerto yang baru-baru ini terjadi.

Untuk banjir bandang, terdapat enam penyebab. Mulai hujan ekstrim, tipologi DAS, jebolnya pembendungan akibat sisa-sisa vegetasi, bertemunya dua puncak banjir, jebolnya bendungan atau tanggul, serta kembalinya alur sungai sudetan.

Pakar Hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Agus Maryono menilai, pemerintah beragam level harus bisa melakukan identifikasi daerahnya. Artinya, titik-titik potensi terjadinya banjir bandang harus bisa dideteksi dini.

"Kita harus memahamkan masyarakat melihat banjir untuk ditanggulangi, tidak sebagai nasib," kata Agus, saat ditemui di Biro Humas dan Protokol UGM, Kamis (24/1).

Ada kalanya banjir bandang, seperti yang ada Magelang, terjadi di daerah-daerah yang cukup tenang. Tapi, sebenarnya, pembendungan air-air tanah tetap terjadi dan tidak diketahui kapan akan jebol atau longsor.

Namun, untuk kondisi seperti yang ada di Bima, terlalu banyaknya sungai-sungai memang menghadirkan pula potensi banjir yang lebih tinggi. Geografis itu turut membuat daerah-daerah itu rentan terjadi banjir bandang.

Untuk itu, penting diciptakan langkah-langkah antisipasi demi bisa menghindari terjadinya banjir. Misalnya, mengubah pola kerja waduk, embung atau telaga saat diperkirakan hujan besar akan terjadi.

Menurut Agus, tempat-tempat penampungan air itu seharusnya bisa dikosongkan satu atau dua hari sebelum hujan terjadi. Sehingga, ketika hujan terjadi, volume air yang ditampung bisa lebih banyak atau maksimal.

Yang sudah dilakukan dan cukup bagus, bisa dicontoh dari masyarakat Ambon yang melakukan susur sungai. Masyarakat desa didanai untuk ekspedisi ke atas dengan menelaah tanda-tanda terjadinya banjri bandang.

Telaahannya banyak seperti melihat batang-batang pohon yang menutupi sungai, atau tanah-tanah yang sudah rentan longsor. Dari sana, mereka bisa melihat potensi bencana yang akan terjadi.

Untuk itu, bagi masyarakat Indonesia yang sudah cukup akrab dengan banjir, seharusnya bisa terbiasa pula dengan langkah-langkah pencegahannya. Gerakan restorasi sungai menjadi satu yang paling mendesak untuk segera dilakukan.

"Masyarakat secara semesta harus siap menghadapi, bukan menghadapi saat terjadi tapi apa yang harus kita lakukan untuk mengurangi potensi terjadinya banjir," ujar Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement