Kamis 24 Jan 2019 06:19 WIB

Mengenang Tabrakan Maut Afriyanti di Tugu Tani

Setiap harinya, ada 14 orang pejalan kaki di Indonesia meninggal karena kecelakaan

Rep: Rifdah Syifa/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah anggota Komunitas Koalisi Pejalan Kaki usai melaksanakan aksi tabur bunga di Halte Tugu Tani, Jakarta, Selasa (22/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah anggota Komunitas Koalisi Pejalan Kaki usai melaksanakan aksi tabur bunga di Halte Tugu Tani, Jakarta, Selasa (22/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Sore itu, Selasa (22/1), Halte Tugu Tani, Menteng, Jakarta Pusat terlihat agak ramai dari biasanya. Para pejalan kaki melawati halte tersebut sambil melihat kerumunan di sana. Sejumlah pengguna sepeda motor dan mobil yang melintas jalan itu pun melirik sekilas ke arah halte itu. Tampak ada sembilan papan kecil disenderkan ke pagar. Satu di antaranya bertuliskan, "22 Januari Hari Pejalan Kaki Nasional”.

Aksi ini digelar Koalisi Pejalan Kaki (KPK) yang didukung Jaringan Aksi Keselamatan Jalan. Mereka hadir untuk memperingati Hari Pejalan Kaki Nasional sekaligus mengenang para pejalan kaki yang gugur akibat kecelakaan fatal di Tugu Tani pada 2012 silam. Cuaca yang agak mendung pun menambah semangat para aksi demi terciptanya peningkatan keselamatan berlalulintas, khususnya fasilitas pejalan kaki.

“Kami berharap dengan adanya momentum ini agar ada perbaikan yang signifikan terkait isu-isu kecelakaan lalu lintas,” kata Alfred Sitorus selaku pendiri Koalisi Pejalan Kaki.

Tugu Tani pada 22 Januari 2012 lalu memang menjadi saksi bisu atas tewasnya sembilan pejalan kaki akibat pengemudi mobil Xenia, Afriyanti Susanti melaju kencang dan oleng hingga menabrak pejalan kaki di trotoar. Koalisi Pejalan Kaki (KPK) pun pada tahun 2013 menetapkan 22 Januari sebagai Hari Pejalan Kaki Nasional.

Ternyata masih banyak ditemukan pelanggaran yang terjadi di trotoar, seperti  pengguna sepeda motor yang melintasi jalur khusus pejalan kaki, pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, maupun trotoar yang dijadikan lahan parkir. Berdasarkan data dari Koalisi Pejalan Kaki, disebutkan bahwa pada tahun 2016 jumlah pejalan kaki yang meninggal dunia mencapai 5.005 orang atau sekitar 16 persen.

Itu artinya, setiap hari terdapat 14 orang pejalan kaki di Indonesia yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Sedangkan jumlah pesepeda yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 3 persen atau 938 orang.

Alfred Sitorus mengatakan, pihaknya menerima 200 aduan tiap harinya melalui media sosial. Ia telah meneruskan aduan-aduan tersebut ke instansi di daerah masing-masing. Namun, ada yang ditanggapi dan ada yang tidak.

“Ada pula yang ditanggapi namun lambat. Yang lambat itu biasanya terkait infrastruktur karena mungkin terbentur oleh biaya. Kalau untuk masalah lahan parkir atau pedagang kaki lima itu cepat ditangani,” kata Alfred.

Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Sandy Apriliansyah menuturkan pengalamannya ketika berjalan di trotoar. "Saya pernah melihat anak kecil sedang loncat-loncatan dan tidak melihat ada lubang hingga dia jatuh ke dalamnya. Ada juga laporan dari seorang laki-laki yang kakinya jeblos ke saluran air di trotoar Jalan Gatot Subroto," kata Sandy.

Sandy menyarankan, perlu ditingkatkan lagi fasilitas pejalan kaki, seperti pengadaan  penerangan di trotoar dan jalur khusus untuk disabilitas. Selain itu, kata dia, perlu adanya rencana induk atau master plan untuk memperhatikan detail-detail pembangunan trotoar di Indonesia.

Tentunya, selain pembangunan infrastruktur yang memadai perlu adanya upaya penertiban terhadap pejalan kaki itu sendiri. Maka itu, Koalisi Pejalan Kaki telah mengimbau kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) agar lebih tegas bagi pejalan kaki yang melanggar. Jika perlu dilakukan Sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) untuk pejalan kaki ‘nakal’.

Selain itu, perlu adanya pengadaan kurikulum berlalu lintas di sekolah-sekolah. Karena kurikulum berlalu lintas belum masuk ke sekolah. Kalau kurikulum tersebut sudah masuk, hal itu membentuk karakter disiplin dalam berlalu lintas.

“Menurut saya mungkin 80 persen yang mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) jarang membaca undang-undang lalu lintas,” kata Alfred.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement