REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyatakan pilihan golongan putih (golput) atau tak memihak pasangan calon presiden dan calon wakil presiden merupakan bentuk protes masyarakat. Koalisi masyarakat sipil menganggap sikap golput niscaya terjadi dalam negara demokrasi.
Koalisi masyarakat sipil terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ICJR, Kontras, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, dan PBHI, menyampaikan pernyataan sikap itu berdasarkan Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam aturan itu, koalisi meyakini, tak ada larangan menjadi golput.
Ketua Bidang Jaringan dan Kampanye YLBHI Arip Yogiawan mengatakan adanya anggapan buruk terhadap kelompok yang tak memihak pasangan manapun. Padahal, ia meyakini sikap golput juga bagian dari demokrasi.
"Kehadiran kelompok tak memihak pasangan mana pun harusnya dibaca sebagai ekspresi protes atau penghukuman terhadap mekanisme penentuan Capres-Cawapres," katanya dalam konferensi pers pernyataan sikap bersama pada Rabu (23/1).
Menurutnya wajar masyarakat menjatuhkan vonis pada kedua paslon yang bertarung pada Pilpres 2019. Sebab, penentuannya didasarkan pada pertimbangan politik praktis dan mengesampingkan nilai integritas individu atau rekam jejak.
"Lagipula terbatasnya pilihan calon pemimpin bukan terjadi secara alami, melainkan didesain sedemikian rupa," ujarnya.
Koordinator advokasi LBH Masyarakat Afif Abdul Qoyim menyebut indikator didesain itu salah satunya syarat terbentuknya partai yang dipaksakan nasional. Alhasil, partai bermodal besar saja yang mampu ikut pemilu.
Kemudian, adanya sistem ambang batas pengajuan Capres minimal 20 persen jumlah kursi di DPR. "Jadi walau ada parpol lolos verifikasi nasional dengan syarat berat dan berbiaya mahal, tapi tidak serta merta bisa mencalonkan Presiden," sebutnya.
Ia menganggap ada tiga peluang penyebab golput pada Pilpres kali ini. Pertama, situasi ketidakadaan pilihan karena paslon hanya dapat diusulkan parpol. Kedua, parpol dibentuk atas dasar modal besar. Ketiga, kedua paslon tak mewakili aspirasi bebas politisasi agama.
"Maka tidak memilih salah satu paslon adalah suatu pilihan dan keniscayaan dalam berdemokrasi," tegasnya.