Rabu 23 Jan 2019 08:40 WIB

IMF Minta Negara Berkembang Kurangi Utang

IMF menilai ketidakpastian global semakin tinggi.

Rep: Sapto Andika Candra, Ahmad Fikri Noor/ Red: Elba Damhuri
Managing Director dan Chairwoman Dana Moneter Internasional (IMF), Christine Lagarde dalam konferensi pers World Economic Forum di Davos, Senin (21/1).
Foto: AP
Managing Director dan Chairwoman Dana Moneter Internasional (IMF), Christine Lagarde dalam konferensi pers World Economic Forum di Davos, Senin (21/1).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan negara-negara berkembang untuk menjaga rasio utang di tengah dinamika ekonomi dunia yang semakin menantang. Peringatan IMF ini menyusul pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,5 persen pada 2019. Pada Oktober 2018, IMF sempat memproyeksikan ekonomi global tahun ini tumbuh 3,7 persen.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dirilis IMF dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, Senin (21/1). IMF menggarisbawahi sejumlah risiko yang dapat menekan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang masih berlangsung hingga rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).

IMF dalam laporan World Economic Outlook (WEO) 2019 yang diterbitkan baru-baru ini, menyebutkan bahwa negara berkembang sebetulnya sudah terbukti mampu mengatasi kondisi eksternal yang sulit. Selama beberapa bulan terakhir, ekonomi negara berkembang tertekan oleh perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, naiknya suku bunga bank sentral AS, penguatan nilai tukar dolar AS, hingga volatilitas harga minyak mentah dunia.

"Di beberapa negara, menangani utang swasta yang tinggi, neraca pembayaran, dan ketidakseimbangan aset pada neraca perusahaan, membutuhkan kerangka makroprudensial yang kuat," tulis IMF dalam laporannya.

Karena masih tingginya ketidakpastian ekonomi global, IMF menekankan, negara berkembang harus memiliki kebijakan fiskal yang mampu memastikan rasio utang tetap terjaga. Pemerintahan suatu negara juga sanggup memastikan penyaluran subsidi tepat sasaran dan merasionalisasikan belanja rutin agar bisa mendorong pertumbuhan yang inklusif.

Ihwal pengendalian utang juga ditegaskan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dalam konferensi pers Prospektus Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Lagarde mengatakan, mengurangi utang pemerintah menjadi salah satu metode untuk menekan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Lagarde berpendapat, pengurangan utang pemerintah bisa memberikan ruang untuk melawan penurunan ekonomi.

Namun, pengendalian utang tetap harus dilakukan secara fleksibel. Tujuannya, kata dia, supaya pengurangan utang tak semakin menurunkan perekonomian pada negara tersebut. "Mengurangi utang pemerintah yang tinggi akan membuka ruang yang dibutuhkan untuk melawan penurunan di masa depan," ujar Lagarde dalam keterangan resminya, kemarin.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, imbauan IMF untuk mengurangi utang demi menghindari risiko penurunan ekonomi global tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Menurut Sri, pernyataan IMF tersebut ditujukan untuk sejumlah negara yang memiliki rasio utang yang tinggi terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain itu, ditujukan kepada negara yang defisit APBN-nya belum memenuhi kategori aman.

Menkeu memaparkan, rasio utang pemerintah per November 2018 sebesar 29,9 persen terhadap PDB atau Rp 4.395 triliun. Standar kehati-hatian di tingkat internasional menyebutkan rasio utang sebuah negara tidak boleh melebihi 60 persen terhadap PDB. Oleh karena itu, Menkeu menegaskan, rasio utang Indonesia sangat terkendali dan masih rendah.

"Jadi, tidak relevan untuk Indonesia pernyataan itu. Kita semakin menurun (rasio utang)," kata Menkeu.

Menurut Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, peringatan IMF soal pengelolaan risiko utang lebih relevan dengan negara yang memiliki rasio utang tinggi terhadap PDB serta defisit anggaran yang membengkak, seperti Italia. Rasio utang Italia terhadap PDB sebesar 100 persen dengan defisit anggaran di atas 2,4 persen.

Terkait proyeksi perlambatan ekonomi global, Sri menegaskan pemerintah memang perlu mewaspadainya. Kendati demikian, dia menilai tantangan ekonomi 2019 tidak akan seberat kondisi 2018. "Kita fokus menjaga faktor-faktor pertumbuhan dan stabilitas ekonomi," ujar Sri.

Sri mengatakan, momentum pertumbuhan ekonomi dunia menghadapi tekanan akibat ketidakpastian perdagangan. Dia menyampaikan, proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia hanya mencapai empat persen lebih rendah dari 2018 yang sebesar 4,2 persen.

Selain itu, shutdown Pemerintah AS juga memperlemah momentum pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam. "Itu berarti di negara maju akan mengalami pelemahan dan RRC harus lakukan adjustment karena ekonominya melambat," ujarnya.

Istana ikut memberikan tanggapan soal risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi yang membayangi Indonesia menyusul pemangkasan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia oleh IMF. Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika menyebutkan, Indonesia memiliki bantalan sosial ekonomi yang kokoh sehingga cukup siap menghadapi dinamika ekonomi global.

Dia menjelaskan, sejak empat tahun lalu, belanja fungsi ekonomi naik dua kali lipat ketimbang periode 2010-2014. Anggaran infrastruktur pun naik sangat besar. Sementara itu, belanja proteksi sosial naik sekitar 10 kali lipat.

"Ini yang membuat bantalan sosial-ekonomi menjadi sangat kukuh," kata Erani, Selasa (22/1).

Erani menjelaskan, dalam menjalankan roda perekonomian, pemerintah tetap bekerja sesuai target yang tertuang dalam asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Meski begitu, Erani mengakui bahwa kewaspadaan terhadap situasi ekonomi global atau politik memang harus dilakukan.

"Berkat kewaspadaan itu, pertumbuhan ekonomi terus tumbuh meskipun negara lain justru turun pertumbuhannya, seperti Cina," ujarnya.

Erani juga menyebutkan, pemerintah terus melakukan konsolidasi kebijakan fiskal dan moneter untuk memitigasi aneka persoalan. Modal terpenting yang dimiliki Indonesia, kata Erani, adalah makroekonomi yang solid. Di luar pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga mencatat inflasi selama empat tahun terakhir selalu di bawah 3,7 persen.

"Daya beli terjaga. Kondisi fiskal juga makin bugar. Defisit fiskal hanya 1,7 persen dan defisit keseimbangan primer tinggal Rp 1,8 triliun, terendah sejak 2012," kata Erani. 

(ed: satria kartika yudha)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement