Selasa 22 Jan 2019 15:17 WIB

Suap PLTU Riau-1, Eni: Kata Pak Kotjo ini Uang Halal

Eni menceritakan lobi yang dilakukan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo

Keterangan Saksi Meringankan. Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih mencermati keterangan saksi saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Keterangan Saksi Meringankan. Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih mencermati keterangan saksi saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (15/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mencecar anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih karena menyebut jika fee yang diterima dari pengusaha sebagai uang halal. Eni yang menjadi terdakwa suap proyek PLTU Riau, juga menceritakan lobi yang dilakukan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mengawal proyek PLTU Riau.

"Pak Kotjo mengatakan bahwa ia dapat 2,5 persen dan ini halal. Saya tanya kenapa halal? Dia mengatakan saya dapat 'agent fee' dan membayar pajak," kata Eni Maulani dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (22/1).

"Iya itu halal untuk Pak Kotjo, memang 'fee' dari mana?" tanya JPU Ronald Worotikan.

"Dari investor, CHEC," jawab Eni.

Eni Maulani Saragih dalam perkara ini didakwa menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd. Johanes Budisutrisno Kotjo serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40.000 dolar Singapura (sekitar Rp410 juta) dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan tambang.

Fee tersebut adalah imbalan dari pengurusan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd., dan China Huadian Engineering Company (CHEC) Ltd. Dalam dakwaan disebutkan bahwa Kotjo pada tahun 2015 mencari investor dan mendapatkan CHEC Ltd. sebagai investor proyek dengan kesepakatan bila proyek berjalan, Kotjo mendapat "fee" sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS.

Dari jumlah tersebut, Eni diduga juga akan mendapat bagian 3,5 persen atau sekitar 875.000 dolar AS. Fee itu yang kemudian dipakai Eni untuk sejumlah kegiatan Partai Golkar, termasuk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar pada bulan Desember 2017.

"Dalam BAP Saudara mengatakan, 'Saya minta 3 juta dolar AS dari Pak Kotjo karena diminta Idrus untuk menjadikannya ketua umum. Awalnya Idrus telepon saya, memangnya Pak Idrus ini plt. ketua umum?" tanya jaksa Ronald.

Menjawab pertanyaan itu, Eni mengakui jika dirinya memang meminta kepada Kotjo. Namun, ternyata Idrus Marham tidak lagi dikondisikan menjadi ketua umum, tetapi Pak Airlangga. "Saya mengatakan kepada Pak Kotjo tidak jadi karena politik berubah, semua dikondisikan Pak Airlangga jadi ketua umum karena sudah persetujuan Presiden. Jadi, 3 juta dolar AS itu tidak pernah ada," jawab Eni.

"Namun, sebelumnya minta 400.000 dolar Singapura?" tanya jaksa Ronald.

"Iya, itu sama. Pengondisian juga. Tidak diberikan Pak Kotjo kepada saya karena saya ditunjuk sebagai bendahara munas, jadinya saya minta untuk munaslub. Bagi saya itu berarti menyumbang buat partai, apalagi dari sesuatu yang halal," jawab Eni.

Menurut Eni, uang yang dia minta dari Kotjo berbeda antara uangz untuk pengondisian Idrus Marham sebagai ketua umum dan keperluan munaslub. "Awalnya saya memang menanggapinya serius karena bagi saya, saya senang juga kalau abang saya jadi ketua umum. Makanya, saya sampaikan kepada Pak Kotjo. Terus terang politik saat itu cepat berubah," ungkap Eni.

"Dalam percakapan juga disebutlah gampanglah nanti siapa tahu malah Eni yang jadi ketua umum. Ini benar?" tanya jaksa Ronald.

"Iya," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement