REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, debat capres putaran pertama 17 Januari lalu adalah tontonan paling memalukan yang disuguhkan KPU pada publik dalam sepanjang sejarah debat pilpres di Indonesia.
"Dengan argumentasi ingin menjaga martabat/wibawa pasangan capres-cawapres, KPU membuat terobosan paling 'gila' sepanjang sejarah, memberikan bocoran atau kisi-kisi pertanyaan sebelum debat dilaksanakan," kata dia dalam keterangan pers, Senin (21/1).
Menurut Pangi, KPU tidak selayaknya merendahkan diri di hadapan tim sukses yang terkesan over protektif terhadap jagoannya masing-masing. Sikap akomodir pada level over dosis ini pada akhirnya membuat KPU berpotensi melanggar aturan pemilu dengan mereduksi debat sebagai salah satu model kampanye.
"Sehingga publik tidak mendapatkan informasi yang cukup memadai tentang kandidat sebagai bahan pertimbangan bagi pemilih untuk menentukan pilihan politiknya," kata dia.
Pangi juga berpendapat, KPU hari-hari ini dihadapkan pada banyak persoalan yang membuat lembaga ini seperti linglung dan terkesan gagap menghadapi persoalan dan kritik dari publik. KPU, kata dia, fokus saja pada teknis pemilu seperti kesiapan logistik dan penyelenggaraan pemilu sampai ke tingkat TPS.
"Untuk debat publik serahkan saja pada ahlinya. Banyak pihak dan lembaga kredibel yang bisa diajak kerjasama, sebut saja misalnya: kampus, lembaga penyiaran publik (tv dan radio), NGO bahkan organisasi mahasiswa pun sanggup melaksanakan debat publik yang jauh lebih berkualitas dan berkelas," kata dia.
Pangi menyampaikan bahwa publik ingin debat pilpres kedua berselancar dengan narasi dan pikiran yang genuine. Publik harus tahu kedalaman isi kepala paslon 01 dan 02, maka harus mampu menelanjangi isi kepala masing-masing paslon. Tidak perlu ada lagi kisi kisi/hentikan bawa contekan dan tablet.
"Singkirkan meja podium debat, enggak usah dikasih waktu pakai menit menit segala, biar saja mengalir, orasi dengan jalan pikiran liar paslon, host/moderator hanya membuka, panelis langsung bertanya dengan pertanyaan yang punya daya kejut," ucap dia.
Menurut Pangi, biarkan masing-masing paslon berpetualang dengan otak dan pikirannya sendiri. "Silahkan untuk saling memotong dan menyanggah, sehingga suasana menjadi hidup serta cair karena adanya interaksi antarkandidat, sporter enggak perlu hadir biarkan masing-masing paslon adu narasi dan imaginasi," tuturnya.
Karena, lanjut Pangi, Pilpres 2019 tidak sedang menilai jumlah tepuk tangan dan yel-yel yang paling ramai tapi rakyat ingin tahu program paslon dan kemampuan mereka mengurai problem fundamental di republik Indonesia.