REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Umar Mukhtar
Mantan menteri hukum dan HAM Yusril Izha Mahendra yang kini menjadi kuasa hukum pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin menjadi ujung tombak pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Wartawan Republika Umar Mukhtar mewawancarainya terkait proses pembebasan tersebut. berikut petikannya.
Ustaz Ba’asyir dibebaskan tanpa menyatakan setia kepada Pancasila. Bagaimana ceritanya?
Memang tidak ada grasi di sini. Dan juga, kalau bebas bersyarat itu ada syaratnya dan Pak Ba’asyir itu tidak mau menandatangani syaratnya itu. Syaratnya itu syarat setia kepada Pancasila. Beliau mengatakan, “Saya hanya taat kepada Allah dan setia kepada Islam. Enggak bisa sama yang lain.”
Saya bilang, “Ustaz, kalau orang taat pada Islam kan otomatis dia taat pada Pancasila, bukannya begitu?" "Ya, memang begitu. Kalau begitu, kenapa enggak taat sama Islam saja?" kata Ustaz Ba’asyir.
Ya, itu saya sudah lapor kepada Pak Jokowi (yang menilai) pandangan beliau (Ba’asyir—Red) seperti itu. Ya, kita hormati saja pandangan beliau. Beliau enggak bisa berubah pandangannya seperti itu, yang kita pahami adalah orang taat pada Islam itu, ya, taat pada Pancasila.
Jadi, Pak Jokowi mengatakan, “Kalau begitu, ya kita permudah saja syarat pembebasannya.” Jadi, dengan dipermudah itu masalahnya jadi selesai. Jadi, kita tidak ada permintaan grasi, memang betul, dan memang bukan grasi yang diberikan.
Jika demikian, bagaimana proses pembebasannya?
Kalau bebas bersyarat, itu sesuai dengan syarat-syaratnya. Kalau pidana umum, pembebasan bersyarat itu cukup dilakukan oleh kalapas dengan laporan kepada atasan di Ditjen Pemasyarakatan dan kepada provinsi.
Tapi, kalau tindak pidana tertentu, seperti terorisme, korupsi, dan sejenisnya, itu dia (kewenangannya) sampai ke dirjen pemasyarakatan. Tapi, dirjen itu sebenarnya tidak dapat memberikan bebas bersyarat dalam kasus terorisme kalau yang bersangkutan (terpidana—Red) tidak menandatangani syarat kesetiaan kepada Pancasila.
Oleh karena itu, masalah ini diambil alih oleh Presiden. Hanya Presiden yang berwenang untuk memutuskan itu dan mengambil sebuah kebijakan. Presiden saya sarankan untuk mengambil kebijakan itu dan Presiden sudah mengambil kebijakan. Jadi, syarat-syaratnya itu memang dimudahkan.
Apa dasar hukum pembebasan Ustaz Ba’asyir?
Saya harus ajarin kamu hukum ini, ya. Jadi, ketentuan tentang syarat-syarat pembebasan bersyarat itu diatur dalam peraturan menteri, bukan dalam peraturan pemerintah, dan bukan dalam undang-undang. Peraturan menteri itu namanya aturan kebijakan yang dibuat oleh seorang menteri.
Nah, karena dia aturan kebijakan di bidang eksekutif, eksekutif tertinggi itu ada di tangan presiden, presiden bisa mengambil kebijakan sendiri, mengesampingkan aturan kebijakan yang dibuat oleh menteri.
Bagaimana dengan kesan kaitan pembebasan dengan pilpres 2019?
Kalau misalnya tepat waktu diberikan kebebasan itu pada tanggal 23 desember kemarin (saat masa tahanan Ba’asyir sudah dua pertiga hukuman), bukankah tanggal itu juga sudah masa kampanye pemilu? Kalau tanggal 23 itu dibebaskan, orang bilang, “Oh, ini kaitannya dengan kampanye pemilu.”
Hari ini pun dibebaskan dibilang yang sama juga. Ya, presiden itu, ya, kebijakannya kebijakan politik. Jadi, sebagai kebijakan politik, ya, tergantung sudut pandang orang yang melihatnya. Tidak bisa disalahkan kalau orang mengatakan, “Wah, ini tahun politik (maka) diambil begitu.” Saya kira, kalau diambil kebijakan seperti itu, ya, orang lain bebas saja untuk menafsirkan.
Bagaimana dengan tekanan-tekanan politik terkait pembebasan ini?
Mengapa presiden harus turun tangan seolah-olah ini menjadi masalah politik? Tapi, jangan dilupakan, ini tekanan politiknya juga luar biasa, kemarin saja saya sudah mengalami. Tidak hanya dari dalam negeri, oleh mereka yang tidak setuju, tapi tekanan politik dari luar negeri juga luar biasa.
Misalnya, saya ditelepon oleh Reuters, oleh Sydney Morning Herald dari Australia, CNN-nya Inggris, kantor berita AFP Prancis. Ini kan menyangkut negara kita yang mengambil keputusan terhadap seseorang yang oleh dunia internasional dianggap sebagai teroris.
Kalau beban politik seperti itu, apakah bisa dihadapi oleh dirjen pemasyarakatan. Enggak bisa dong. Kalau menteri kehakimannya saya, saya tidak peduli. Saya biasa berani mengambil kebijakan. Kalau ada tekanan internasional, saya hadapi. Tapi, tidak semua orang menteri kehakiman bisa berbuat begitu. Tergantung kapasitasnya.
Saya menganggap sekarang ini kebijakan itu harus diambil oleh seorang presiden. Karena itu, saya mengambil langkah ini memperhitungkan aspek-aspek hukumnya, psikologisnya, dan aspek-aspek politik, baik politik domestik maupun politik internasionalnya, dan saya pikir langkah yang dilakukan ini sudah tepat.
Apa jawaban terhadap tekanan luar negeri itu?
Saya mengatakan, “Ini negara kami adalah negara berdaulat. Kami tidak bisa didikte oleh negara lain untuk mengambil suatu keputusan.” Kita memang bekerja sama memberantas terorisme secara internasional dan negara-negara Barat pun mengakui bahwa Indonesia bisa menjadi salah satu model dalam menanggulangi teorisme. Kami lebih tahu persoalan terorisme daripada negara-negara lain. Karena itu, jangan terlalu banyak berkomentar terhadap urusan domestik negara kita ini. Sudah saya jawab kok.
Anda tidak mengkhawatirkan dampak tekanan asing itu terhadap Jokowi?
Memang itu kewenangannya dia (Presiden—Red). Jadi, Anda ini nyuruh kita ini untuk takut dengan negara asing? Ngapain? Sudahlah, jangan Anda giring-giring seperti kita ketakutan sama Amerika, takut sama apa-apa. Anda kan orang Indonesia, mestinya membela negara sendiri dong. Masa, negaranya sendiri takut sama negara asing?
BACA JUGA: Ini Tarif Enam Ruas Tol Trans Jawa yang Berlaku Hari Ini
(ed: fitriyan zamzami)