Senin 21 Jan 2019 05:01 WIB

Dari Sengkon-Karta Hingga Bebasnya Ba'asyir dan Ahok

Dahulu ada kasus Sengkon -Karta, Kini ada pembebasan Basyir yang memicu kontroversi

Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada sebuah laman facebook miilik Benny Ohorella yang tergabung dalam grup Indonesia Tempo Doelpe ada tulisan sangat menarik. Bagi generasi zaman now yang sebagian ada yang sesumbar akan menguasai teknologi 4.0, mungkin kisah ini layaknya sebuah dongeng yang serba fiktif. Padahal ini nyata dan pernah terjadi dan menggegerkan Indonesia.

Benny tampaknya dia mengutip tulisan dari sejumlah media masa ibu kota yang terbit saat itu, yakni Harian Kompas. Begini kisah yang ada dalam tulisan itu:

Alkisah di tahun 1974, sepasang suami-istri Sulaiman & Siti Haya di desa Bojongsari dirampok dan dibunuh. Tidak lama setelah itu polisi menangkap Sengkon dan Karta atas tuduhan melakukan kejahatan sadis itu. Sengkon dan Karta menolak tuduhan itu saat interograsi dan menolak pula menandatangani BAP. Para penyidik berang dan memukuli mereka. Akhirnya Sengkon dan Karta terpaksa menandatangani BAP dan kasusnya pun diajukan ke pengadilan.

Di pengadilan, hakim lebih percaya keterangan penyelidik daripada orang kampung seperti Sengkon dan Karta, begitu pula keterangan mereka bahwa BAP itu ditandatangani dengan terpaksa. Pada bulan Oktober 1977, Pengadilan Negeri Bekasi menjatuhakn vonis 12 tahun penjara utk Sengkon dan 7 tahun penjara untuk Karta.

Dalam upaya banding, Pengadilan Tinggi Jawa Barat pun menguatkan keputusan ini.

Mujur di LP Cipinang ada seorang napi kasus pencurian bernama Genul yg bilang kemana-mana bahwa dialah si perampok di kasus Sulaiman - Siti Haya itu. Sengkon mendengar ini, lalu dia meminta bantuan keluarganya untuk mengusahakan pembebasan dirinya dengan memanfaatkan informasi ini. Keluarganya lalu mendapat bantuan dari Biro Konsultasi dan Pembelaan MKGR Pusat di Jakarta. Biro ini lalu menelusuri keberadaan Genul dan memverifikasi keterangan yang didengar Sengkon.

Ternyata Genul masih ada hubungan kerabat dengan Sengkon dan di depan aparat akhirnya Genul mengakui bahwa dialah yang sebenarnya merampok dan membunuh Sulaiman dan Siti Haya.

Maka, Gunel-pun diajukan ke pengadilan dan pada bulan Oktober 1980 dijatuhi hukuman tambahan 10 tahun penjara. Tapi dengan adanya fakta ini, menurut sistem hukum di Indonesia tidak serta merta membatalkan hukuman yg sudah dijatuhkan kepada Sengkon dan Karta.

Harta Sengkon dan Karta sudah habis bahkan keluarga mereka kocar-kacir, jatuh miskin karena membiayai perkara hukum yang menimpa kepala-kepala keluarga mereka ini. Karta bahkan tadinya punya tanah 6000 meter persegi di Cakung Payangan, dan itupun amblas demi membiayai musibah hukum ini. Sedangkan Sengkon akibat siksaan dan buruknya perlakuan selama dalam tahanan akhirnya menderita TBC yang parah akibat tidak dapat diobati karena ketiadaan biaya.

Untung ada anggota dewan, Albert Hasibuan, yg berinisiatif mencari cara membantu mereka berdua. Kebetulan Ketua Mahkamah Agung waktu itu, Oemar Seno Adji adalah rekan satu almamater Albert. Ketua MA lalu menghidupkan sebuah lembaga baru bernama Peninjauan Kembali sehingga bisa membuka lagi suatu kasus bila ditemukan bukti baru. Lewat lembaga baru inilah Sengkon dan Karta akhirnya dibebaskan.

Pada tanggal 4 November 1980, Sengkon dan Karta akhirnya menghirup udara bebas, Karta naik mobil Colt dan Sengkon naik ambulans. Karta menuju tempat keluarganya bernaung selama ini di rumah salah satu kerabatnya di Pondok Rangon. Sedangan Sengkon menuju RSUD Bekasi utk perawatan TBC. Rumah dan harta mereka sudah habis sehingga rumahpun mereka tak punya lagi sekarang.

Sengkon dan Karta berusaha mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta atas kasus salah vonis yang mereka derita, tapi tuntutan mereka ditolak, dengan alasan mereka tidak pernah mengajukan Kasasi atas vonis yang mereka terima. Padahal tindakan itu terpaksa dipilih Sengkon dan Karta karena sudah tidak punya lagi biaya. Keluarga mereka sempat berusaha mengurus dengan bantuan Surat Miskin dari Desa mereka, tapi surat tersebut terlambat satu hari dari batas waktu pengajuan Kasasi.

Sengkon akhirnya wafat karena penyakit TBC yang dia peroleh selama dalam tahanan dan Karta tewas tertabrak truk. Sengkon meninggalkan seorang istri dan 3 anak, sedangkan Karta meninggalkan seorang istri dan 12 anak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement