Sabtu 19 Jan 2019 06:23 WIB

Evaluasi Debat Capres Perdana

Ada beberapa catatan dari forum debat capres perdana pada Kamis malam.

Capres Nomor urut 01 Joko Widodo bersalaman dengan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto usai debat pertama pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilu 2019 di Jakarta, Kamis (17/1).
Foto: Republika/Prayogi
Capres Nomor urut 01 Joko Widodo bersalaman dengan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto usai debat pertama pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilu 2019 di Jakarta, Kamis (17/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute/Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Debat perdana yang mempertemukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden usai digelar, Kamis (17/1). Gegap gempita perbincangan warga mengemuka seiring melimpahnya dukungan dan pujian ke pasangan yang didukungnya, serta kritikan dan cacian ke pasangan calon lawan.

Debat bukan hanya antarpasangan calon presiden dan wakil presiden, melainkan juga terjadi di media massa arus utama dan media sosial antartim sukses dan relawan. Semua pihak sibuk mencari argumen untuk memosisikan pasangan calon yang didukungnya seolah-olah memenangi panggung debat perdana.

Norma subjektif

Debat harus diposisikan sebagai bagian dari komunikasi persuasif pasangan calon untuk memengaruhi lingkungan politik.  Tujuan utamanya ada dua, yakni meneguhkan mereka yang sudah menjadi pemilih kuat dan memalingkan perhatian mereka yang masih gamang dengan pilihannya.

Jadi, kalau para tim sukses, tim relawan, dan pendukung masing-masing ditanya siapa yang menguasai debat perdana dengan skor lebih tinggi, jawabannya sudah pasti paslon mereka sendiri-sendiri. Akan dibuat narasi yang menjustifikasi, informasi diproduksi dan didistribusikan ke ragam kanal dengan tujuan memberi pembenaran atas setiap tindakan aktor di panggung perdebatan.

Fenomena ini dijelaskan oleh Reasoned Action Theory sebagai norma subjektif. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada 1980.

Peneliti dan dosen komunikasi dari University of Pensylvania ini menggarisbawahi, intensi atau niat melakukan dan tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar. Pertama, berhubungan dengan sikap dan satunya lagi berhubungan dengan pengaruh sosial, yaitu norma subjektif.

Mengapa para pendukung fanatik akan mencari pembenaran atas informasi dan tindakan apa pun yang dilakukan paslonnya? Tentu saja, hal ini disebabkan sudah adanya norma subjektif yang lekat pada dirinya, bahwa paslon merekalah yang paling unggul, paling baik, paling menguasai, paling kredibel, dan lain sebagainya.

Norma subjektif ini berhubungan dengan pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut. Misalnya, jika mereka tidak mengatakan atau mencari alasan untuk membenarkan paslonnya, akan sangat merugikan pihak mereka, yakni hilangnya potensi pemilih.

Pencarian legitimasi pascadebat biasanya dengan cara memenuhi narasi yang dikonsumsi warga melalui pembenaran versi masing-masing sesuai norma subjektifnya. Jika debat antarpaslon berjalan kurang lebih dua jam, pertarungan narasi yang dikonstruksi antarpendukung bisa berhari-hari. Aspek resonansi informasi di media massa dan media sosial akan turut menentukan siapa yang mengontrol narasi.

Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Gaye Tuchman dalam tulisannya Facts of The Moment: The Study Of News (1980), media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah 'cerita'. Maka itu, pertarungan opini pascadebat justru menjadi bagian lebih penting diwaspadai dibandingkan debatnya itu sendiri.

Modus yang biasa digunakan adalah melalui framing berita di media massa, survei daring yang dibuat dengan menonjolkan kemenangan paslon yang didukungnya. Memenuhi lini masa media sosial melalui twitwar, meme, testimoni influencer, serta ragam jenis teknik propaganda yang dibuat untuk legitimasi diri paslon yang didukung dan delegitimasi paslon lawan.

Catatan perbaikan

Ada beberapa catatan dari forum debat perdana Kamis malam. Pertama, soal mekanisme debat yang dibuat KPU belum mengoptimalkan potensi dialektika yang seharusnya bisa lebih tereksplorasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement