Jumat 18 Jan 2019 17:41 WIB

Mengapa Pengguna Jasa Artis VA tak Terjerat Hukum?

Polisi telah menetapkan artis VA sebagai tersangka.

Rep: Dadang Kurnia/Afrizal/ Red: Teguh Firmansyah
Ditreskrimsus Polda Jatim menunjukan barang bukti dan tersangka kasus prostitusi online yang melibatkan artis di Mapolda Jatim, Surabaya, Kamis (10/1).
Foto:
Artis Vanessa Angel (kedua kiri) berjalan keluar usai menjalani pemeriksaan terkait kasus prostitusi daring di Gedung Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (6/1/2019).

Luki menjelaskan, gambar bugil dan video porno VA disebar sendiri ke muncikari ES dan pelanggan. Menurutnya, dengan foto dan video porno inilah VA melalui ES kerap mendapat order. "Bukti itu kita peroleh berdasarkan hasil digital forensik dari ponsel milik VA dan ES," ujar Luki.

Artis VA maupun R tak bisa dikenakan pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasalnya, tidak ada klausul yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai maupun PSK itu sendiri.

Berikut ketentuan Pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP;

 

Pasal 296

Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

 

Pasal 506

Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil  keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

 

Adapun pasal KUHP tentang perzinahan juga tak bisa dikenakan kepada keduanya. Karena zinah dalam KUHP hanya dapat dikenakan kepada perempuan maupun laki-laki yang telah menikah.

Istilah PSK

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir menilai, aturan yang berlaku saat ini memang mampu untuk menjerat para pengguna jasa prostitusi.

Menurutnya salah satu muara dari permasalahan ini ada dalam penggunaan kata Pekerja Seks Komersial (PSK). Ia berpendapat, penggunaan kata 'pekerja' untuk menyebut para penyedia layanan seks itu justru membuat bisnis prostitusi legal secara terselubung. "Jadi penggunaan terminologi itu maksudnya adalah untuk menghargai perempuan agar supaya lebih berharga dan tidak jadi bahan eksploitasi," kata Muzakir saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/1).

Baca juga, Polda Jatim Tetapkan VA Tersangka Prostitusi Artis.

Namun, lanjut Muzakir, penggunaan kata 'pekerja' dalam PSK justru dinilai akan menjerumuskan perempuan lebih jauh lagi, lantaran secara tidak langsung menyebut PSK sebagai profesi yang pantas untuk dijadikan sumber mata pencaharian.

Dia mengatakan, terminologi yang digunakan untuk menyebut pelaku prostitusi awalnya 'pelacuran', kemudian menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) dan akhirnya berganti jadi PSK hingga saat ini.

Ia melihat, penggunaan terminologi PSK justru melegalisasi hubungan seks secara bebas dan berbayar. "Sebagai pekerja ya itu artinya 'profesi', hubungan mereka kontraktual, yang satu sebagai pengguna jasa yang satu sebagai pemberi layanan jasa seksual," kata dia.

Dia melanjutkan, ketika seseorang menggunakan jasa seksual yang sifatnya kontraktual, berdasarkan kesepakatan, maka dia tidak bisa dihukum.

Kalau dulu, kata ia, prostitusi bisa dilakukan penggerebekan dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Tapi  prostitusi saat ini dilakukan secara privat dan online. "Jadi hubungan seks dikomersialkan," kata dia.

Muzakir menilai gerakan perempuan yang mengubah nama pelacur menjadi WTS kemudian jadi PSK, justru harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Ini karena telah menjerumuskan perempuan sebagai objek. "Pekerjaan itu jadi dibenarkan sepanjang dia bekerja, walaupun harus mengeksploitasi dirinya sendiri," kata dia.

Selain itu, kata dia, jasa seksual yang diperjuangkan dalam terminologi 'PSK' juga merendahkan harkat dan martabat manusia. "Jasa seksual memporak-porandakan sistem kehidupan manusia, yang di Indonesia diatur dengan adanya Undang-undang perkawinan, sila ke satu dan kedua tentang ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sementara tidak manusiawi memperlakukan perempuan seperti itu," jelas dia.

Masalah lain, kata ia, adalah terminologi PSK yang digunakan dalam Peraturan Daerah (Perda) di beberapa daerah. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan mengklasifikasikan pengguna maupun penyedia layanan seksual sebagai tindak pidana zina. "Jadi kalau tindak pidana zina, siapapun yang melakukan hubungan seksual di luar nikah maka dapat dijerat dengan Rancangan KUHP tersebut," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement