REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) mempertanyakan rencana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menghapus jaminan terhadap dua obat terapi bagi pasien kanker kolorektal stadium IV (kanker usus besar). Kedua obat itu yakni bevacizumab dan cetuximab.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes, melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (17/1) malam, mengatakan rencana penghapusan jaminan obat tersebut sudah dimasukkan dalam draf peraturan yang akan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.
"Rencana itu ada, tetapi belum disosialisasikan. Saya tidak tahu apakah sudah ditandatangani oleh Ibu Menkes (Menteri Kesehatan). Tapi yang saya tahu draf itu sudah ada di Kementerian Kesehatan," katanya.
Hamid menyatakan bahwa selama ini dua obat kanker kolorektal yang akan dihapus itu terbukti cukup efektif membantu penanganan dan penyembuhan pasien kanker kolorektal. Oleh karena itu, Hamid menyayangkan rencana pemerintah untuk menghapus obat kanker kolorektal dari tanggungan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan jika hanya dilatarbelakangi masalah kekurangan anggaran.
"Belum lama ini saya atas nama perhimpunan mengirimkan surat ke Kemenkes untuk mempertanyakan rencana penghapusan penjaminan obat kanker kolorektal ini. Kami lalu diundang oleh Kemenkes dan kami pun menjelaskan efektivitas obat yang selama ini dipakai untuk menangani pasien kanker kolorektal. Dari sana melihat intinya adalah keberatan dana," katanya.
Hamid berkeberatan dengan alasan Kemenkes yang menyatakan bahwa obat tersebut tidak efektif untuk mengobati penyakit kanker kolorektal. "Alasan ketidakefektivitasan itu yang kami komplain. Jangan menyampaikan informasi yang kurang tepat kepada pasien," kata Hamid.
Hamid menjelaskan bahwa menurut ESMO guideline, obat tersebut hanya efektif untuk kanker kolorektal stadium IV pada kelompok pasien tertentu. Berdasarkan referensi tersebut setidaknya hanya 15-30 persen pasien kanker kolorektal stadium IV yang memerlukan obat itu.
Dokter bedah ini juga menjelaskan bahwa jika yang dipermasalahkan adalah defisitnya BPJS Kesehatan yang diakibatkan oleh biaya penanganan pasien kanker kolorektal, hal tersebut menurutnya tidak tepat. Sebab biaya terapi tersebut hanya memakai anggaran BPJS tidak sampai satu persen.
Rencana penghapusan obat kanker kolorektal ini pun disayangkan oleh pasien kanker kolorektal yang telah mendapatkan manfaat dari salah satu obat kanker tersebut. Hong sebagai penyintas kanker kolorektal stadium lanjut sangat menyayangkan jika rencana BPJS Kesehatan menghentikan penjaminan tersebut benar-benar dilaksanakan.
"Saya adalah contoh orang yang pulih dari kanker kolorektal stadium lanjut karena ditunjang oleh penanganan kesehatan yang tepat dan obat yang bagus. Saya melakukan 12 kali kemoterapi yang dikombinasikan dengan terapi target selama 7 bulan dan perkembangannya sangat bagus dan tidak menjalani pengobatan lagi karena kondisi saya sudah baik, hanya kontrol secara berkala" kata Hong.
Perempuan usia 72 tahun ini menjelaskan bahwa pada tahun 2016 dia menunjukkan gejala yang oleh masyarakat awam dinilai sebagai gejala ambeien. Ternyata setelah diperiksa oleh dokter yang biasa menangani pasien ambeien, dokter mendiagnosa dirinya mengidap kanker kolorektal.
"Setelah melakukan cek laboratorium di rumah sakit, hasilnya mengatakan bahwa saya menderita kanker kolorektal stadium lanjut. Saat itu dokter bilang kankernya sudah menyebar ke organ paru," ujar Hong.
Terkait operasi yang dijalaninya, Hong sangat berterima kasih karena hampir semua proses pengobatan yang dijalaninya ditanggung BPJS Kesehatan.
Hong sangat sedih ketika mendengar rencana pemerintah akan menghapus penjaminan obat-obat kanker yang sudah lama dijamin oleh BPJS Kesehatan.
"Kasihan kalau pasien kanker kolorektal obatnya dihapuskan oleh BPJS Kesehatan. Obatnya itu mahal, tapi jelas membunuh sel kanker dan memperbaiki kualitas hidup pasien sehingga dapat beraktivitas secara normal," katanya.
Menurutnya akan banyak pasien kanker yang menderita karena tidak sanggup untuk membayar sendiri pengobatannya sehingga pemerintah harus membantu para pasien kanker dengan tidak mencabut obat kanker kolorektal dari obat yang dijamin dalam BPJS Kesehatan.
Ketua Makassar Cancer Care Community (MCCC) Nurlina Subair juga menyesalkan rencana penghapusan obat kanker tersebut.
"Dalam pengalaman saya sebagai orang yang berkecimpung di komunitas peduli pasien kanker, saya melihat bahwa obat itu efektif dan sangat dibutuhkan oleh pasien kanker kolorektal," kata Nurlina.
Menurut Nurlina, pihaknya sudah berusaha menanyakan kepada Kementerian Kesehatan terkait hal ini. Kemenkes menjelaskan, kedua obat itu tidak lagi masuk dalam tanggungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena dianggap tidak efektif secara pembiayaan.
"Tapi kami menilai itu merugikan pasien karena obat itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan menurunkan kematian. Kami berharap JKN mengikuti standar pengobatan dokter dan pemerintah membuka akses obat tersebut melalui JKN," tuturnya.