Kamis 17 Jan 2019 18:56 WIB

Effendi Gazali Ajak Paslon Ambil Pelajaran Debat Pilpres AS

Effendi berharap debat menampilkan perdebatan tajam dan berkualitas.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Debat capres-cawapres (Ilustrasi).
Foto: Dok Republika.co.id
Debat capres-cawapres (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali berharap debat pilpres perdana Kamis (17/1) malam ini menampilkan perdebatan yang tajam dan berkualitas, meski KPU telah membocorkan pertanyaan ke masing-masing pasangan calon (paslon). Effendi meminta dua tim paslon mengambil pelajaran dari debat pilpres di AS ketika Donald Trump terpilih, yang menurutnya ada fenomena baru yang mulai berkembang. Fenomena itu oleh seorang ilmuwan politik J Harsin disebut 'Post-Truth Populism'.

Berkaca pada pilpres AS pada 2017 lalu, Effendi menyebut, Trump secara cara dan konten debat sangat lemah dan buruk dalam sejarah perdebatan pilpres AS. Namun ternyata Trump-lah yang memenangkan pilpres AS. Jadi menurut dia, cara atau teknik debat yang baik itu bukan soal mampu memaparkan fakta-fakta atau bisa menjelaskan hal-hal yang mikro dan teknis semata.

Effendi menyebut dunia sekarang sedang berada pada era 'Post-Truth Populism'. Di kondisi itu ada perang dagang, ada persoalan imigran di berbagai dunia, ada persoalan ISIS, itu semua membawa suasana ke kemenangan Trump di AS. "Trump membawa suasana 'Post-Truth Populism' itu benar-benar kuat mengena di pikiran masyarakat AS," ujar Effendi kepada wartawan, Kamis (17/1).

Padahal apa yang disampaikan Trump tersebut banyak sekali yang dianggap kebohongan dan tidak sesuai dengan fakta kampanye pemilunya. Tetapi Trump telah terbukti menang. Oleh J. Harsin, jelas Effendi, ternyata faktor 'Post-Truth Populism' tersebut yang dianggap sebagai kunci kemenangan Trump.

Orang tahu kalau yang disampaikan Trump itu tidak fakta atau ada datanya tapi tidak terlalu tepat. Tetapi itu yang dirasakan sebagian besar rakyat saat ini justru apa yang disampaikan Trump. "Nah perasaan rakyat AS itulah yang mengantarkan Trump menang," katanya.

Hal yang mirip terjadi di Prancis, dengan popularitas media sosial Presiden Emmanuel Macron bisa naik jadi presiden. Tetapi sekarang Macron digoyang oleh apa yang dirasakan rakyat Prancis seperti 'Post-Truth Populism' "Rakyat Prancis mengkritik, Macron boleh merasa akurat data yang disampaikan, tapi mayoritas rakyat Prancis tidak merasakan seperti itu," sebut Efendi mengumpamakan.

Bagaimana dengan di Indonesia. Effendi mengatakan kritik akan rasa kesulitan itu diutarakan oleh tokoh agama, seperti ulama, ustaz dan para pendakwah. Karena dianggap para aktivis sudah diam di pemerintahan sekarang. Padahal Jokowi tak pernah menyampaikan pernyataan yang menjelekkan umat Islam. Tetapi faktanya mereka dan sebagian rakyat Indonesia merasakan ada 'Post-Truth Populism' tersebut.

Kembali ke soal debat pilpres yang baik, menurut dia, untuk membaca perdebatan politik nanti ada dua hal. Pertama Trajektori, di mana calon harus tahu fenomena masyarakat saat ini dalam konteks berpemilu. Karena masa sekarang berbeda dengan masa lalu dengan di era baru media sosial. Kedua Algoritmanya, apakah orang sekarang peduli hoax atau tidak. Bisa jadi orang tidak terlalu peduli, asalkan perasaannya sama ada pembelaan atas 'Post-Truth Populism' tadi.

"Jangan-jangan orang menilai dari perasaan, calon ini membela kita. Calon ini membela ulama dan umat. Kita butih pemimpin yang tegas, jadi kita pilih dia saja," kata Effendi Ghazali.

Dan ketiga akibatnya orang mulai melawan atas fenomena 'Post-Truth Populism' itu, ketika tidak sedikit orang Indonesia yang menipu lembaga survei. Karena alasannya lembaga survei selama ini cenderung menipu orang. Hal ini bisa ditemui di survei Pilkada DKI di Jakarta. Di mana lembaga survei dibohongi rakyat yang disurveinya.

"Kalau tiga hal ini tidak dipelajari, saya rasa akan menggelinding bolanya terus sampai di ujung pelaksanaan pemilu nanti," imbuhnya.

Karena menurut dia pemilu di Indonesia ini kurang lebih agak lebih sama dengan pemilu di AS dalam konteks saat ini. Di mana akan sangat mudah membenci Trump, tapi sangat sulit untuk menyukai Hillary Clinton. "Jadi gak gampang mencintai Jokowi tapi juga tidak gampang untuk menyukai Prabowo," sebut Effendi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement