REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Indonesia telah mengajukan bagan pemisahan alur laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok agar dapat diterima oleh negara-negara anggota International Maritime Organization (IMO) pada Sidang IMO Sub Committee Navigation, Communication Search and Rescue (NCSR) ke-6. Sidang IMO ini telah dimulai secara resmi pada Rabu-Jumat (16-25/1) di Markas Besar IMO di London.
Untuk itu, pada Sidang NCSR ke-6 ini, Indonesia menggalang dukungan dari seluruh negara anggota IMO terkait dengan penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok. Jika hal tersebut dapat terwujud, maka Indonesia akan menjadi negara pertama yang mengajukan TSS di Alur Laut Kepulauan, sehingga tentunya akan mendapatkan perhatian dari seluruh negara anggota IMO.
Dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Direktur kenavigasian, Basar Antonius sebagai ketua Delegasi Indonesia mengatakan, pengajuan tersebut sangat penting karena berkaitan erat dengan terwujudnya keselamatan pelayaran di alur laut untuk lalu lintas pelayaran Internasional khususnya yang melewati Selat Sunda dan Selat Lombok.
Adapun usulan pengajuan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok tersebut, kata dia, sudah melalui beberapa proses dan telah diajukan ke IMO dalam bentuk Information Paper pada sidang IMO Sub-Komite NCSR ke-5 di London pada bulan Februari tahun 2018. Sedangkan Proposal TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok telah diterima oleh Sekretariat IMO pada 16 Oktober 2018 yang lalu.
Penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok, menurut Basar, diperlukan untuk menjamin keselamatan pelayaran di selat yang menjadi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan cukup ramai lalu lintasnya. Untuk itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan telah melaksanakan beberapa langkah persiapan untuk menetapkan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok seperti telah dilaksanakan studi penetapan TSS Selat Sunda dan Selat Lombok pada Tahun Anggaran 2017.
"Pelaksanaan studi dilaksanakan dengan melibatkan unsur praktisi dan akademisi dari konsultan dengan melibatkan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS)," ujar Basar.
Selanjutnya, studi juga mencakup kajian terkait dengan ketentuan internasional dan nasional, antara lain United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), International Convention for the Safety of Life at Sea 1974 (SOLAS 1974), the International Regulations for Preventing Collisions at Sea 1972 (COLREGs 1972), IMO Ships Routeing, IMO Guidelines and Resolutions terkait serta submisi-submisi terkait TSS yang pernah diajukan oleh negara-negara IMO.
Dalam melaksanakan kajian dan penyusunan draft proposal mengenai TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok, kata Basar, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut juga telah melaksanakan beberapa Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang narasumber/ahli dan peserta dari Kementerian/Lembaga terkait.
"Diskusi juga dilaksanakan dengan IMO experts untuk menyusun draft akhir proposal penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok," ujar Basar.
Adapun setelah ditetapkannya TSS Selat Sunda dan Selat Lombok, Pemerintah Indonesia masih memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain melakukan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan, meliputi Vessel Traffic System (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), serta peta elektronik yang up to date dan menjamin operasional dari perangkat-perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam 7 hari.
Pemerintah Indonesia juga wajib mempersiapkan regulasi, baik lokal maupun nasional terkait dengan operasional maupun urusan teknis dalam rangka menunjang keselamatan pelayaran di TSS yang telah ditetapkan, serta melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan para instansi dan stakeholder terkait dengan penetapan TSS tersebut.
"Keputusan apakah pengajuan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok dapat diterima oleh IMO, hasilnya dapat dilihat di hari terakhir sidang NCSR ke 6 ini," ucap Basar.